Beranda Keislaman Gagasan Kiai Soleh Darat Semarang: Sang Ghazzālī Jawa

Kiai Soleh Darat Semarang: Sang Ghazzālī Jawa

1520
0

Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa di kalangan para kiai muda sezamannya, Kiai Soleh Darat Semarang (1830-1903 M) terkenal dengan julukan al-Ghazzālī al-agīr (“Ghazzālī Kecil”).[1] Menurut penulis, yang telah meneliti karya-karya beliau untuk studi skripsi dan tesis, hal ini adalah “wajar” bagi beliau. Sebagaimana telah dilakukan Imam al-Ghazzālī (w. 505 H), Kiai Soleh menekankan aspek ketunggalan yang tak terpisahkan antara syariah dan tarekat di dalam menjalankan Islam. Selain itu, Imam al-Ghazzālī selalu menjadi rujukan utama dalam seluruh karya Pegon Kiai Soleh. Lalu, faktor-faktor apa yang melahirkan ide penyatukan antara dimensi syariah (ritual) dan tarekat (mistik)?

03

Gambar 1. Manuskrip Syarah al-Hikam Kiai Sholeh Darat. Koleksi disimpan oleh keluarga besar Kiai Sholeh Darat. Foto oleh Muhammad Ichwan dan Anasom dari PCNU Semarang. 

Kiai Soleh mengindikasikan bahwa beliau menyadari debat yang terjadi antara kiai ahli syariah dengan ahli tarekat di masa beliau.[2] Di sana terlihat jelas beliau berusaha kuat mencegah orang-orang di zamannya yang secara berlebihan mencerca (condemn) para penganut tarekat.[3] Bahkan walaupun jika secara lahirnya seorang guru tarekat itu bodoh hal-hal fikih, dalam hal mengajarkan praktik tarekat mereka mendapat legitimasi kuat karena telah menerima ajaran tersebut dari guru ke guru bersambung hingga Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam. Meskipun begitu, tidak ada catatan bahwa beliau pernah dibaiat (initiated) ke dalam salah satu tarekat. Posisi ini berbeda dari koleganya di Mekkah, Kiai Nawawi Banten, yang digambarkan oleh salah satu disertasi dengan sikap netralnya terhadap organisasi tarekat.[4]

Faktor lain yang mendorong lahirnya sikap harmonisasi syariah-tarekat adalah usahanya untuk melindungi masyarakat awam dari kesesatan ajaran dari sebagian komunitas Jawa yang mengabaikan ajaran syariah dan mempelajari tarekat semata. Dalam konteks inilah kita membaca larangan Kiai Soleh terhadap masyarakat awam membaca suluk-suluk yang disusun oleh ahli tarekat-mistik Jawa, terutama yang mengajarkan untuk meninggalkan sembahyang wajib lima waktu.[5] Ajaran ini juga dikhawatirkan Kiai Soleh mengantarkan seseorang memercayai bahwa jiwa mereka adalah Tuhan itu sendiri, salah satu pemahaman yang dinilai keliru dari wadat al-wujūd.[6]

Oleh sebab itu, beliau menilai penting sekali menjauhkan masyarakat awam dari mengkaji kitab-kitab wadat al-wujūd, misalnya Tuḥfah al-mursālah and al-Insān al-Kamīl.[7] Nampaknya hal ini bukan karena isinya, karena beliau tidak membicarakan konten, tapi dampaknya terhadap orang-orang awam. Dalam konteks ini beliau berfatwa bahwa mencuri dan berzina jauh lebih baik daripada mengkaji yang diperuntukkan bagi para elit (khawwāṣ)[8]. Jika para awam keliru dalam memahami kitab-kitab itu, maka mereka bisa tersesat jauh namun mereka yakin menuju yang kebenaran. Kerusakan akal! Sedangkan jika mereka terjerumus ke perzinahan atau pencurian, kekeliruan itu terjadi adalah di ranah kerusakan moral.

Faktor paling penting dari lahirnya tendensi ini adalah sederhana. Hakikat Islam itu mencakup bagian kulit (exterior) dan bagian dalam (interior). Bagian terdalam dari yang terdalam ini adalah Ḥaqīqah. Seluruhnya tidak dapat dipisahkan. Bagi Kiai Soleh mereka diibaratkan seperti perahu, lautan, dan mutiara yang menjadi simbol bagi hubungan antara IslāmĪmān and Iḥsān.[9]

Konsep ini meniscayakan tingkatan makna dalam setiap ritual ibadah. Ambil sebagai contoh ajaran beliau tentang sembahyang. Selagi mendukung pentingnya aturan-aturan praktikal dalam shalat, Kiai Soleh menekankan agar orang yang shalat (musholli) merefleksikan dirinya dalam setiap gerakan shalat.[10] Lebih lanjut beliau mengajarkan bahwa sangat penting seseorang sebelum shalat berwudhu untuk mensucikan “kotoran” badan dan batin.[11]

Kesimpulannya adalah Kiai Soleh benar-benar sadar akan kondisi masyarakat awam di masa itu yang membutuhkan “ortodoksi” dalam melaksanakan ibadah. Ortodoksi ini bukan seperti yang dikesankan oleh sebagian peneliti muda bahwa ia dipengaruhi oleh Wahhabisme, tetapi ia dimotivasi oleh keterikatan erat beliau dengan ajaran-ajaran Imam al-GhazzālīDitambah lagi, ia juga didorong oleh kenyataan ajaran-ajaran yang menyimpang dari sebagian komunitas Jawa dalam memahami wadat al-wujūd yaitu dengan memutus tali rantai IslāmĪmān and Iḥsān. Kiai Soleh menekankan kembali bahwa ketiganya tidak terpisahkan satu sama lain.

Oleh Nur Ahmad

Wakil Sekretaris PCINU Belanda

Santri PP. Al-Itqon, Bugen, Semarang dan PP. al-Bahroniyah Ngemplak, Demak.


[1]Martin van Bruinessen, “Saleh Darat,” dalam Dictionnaire Biographique Des Savants et Grandes Figures Du Monde Musulman Périphérique, Du XIXe Siècle À Nos Jours, ed. Marc Gaborieau et al., vol. 2 (Paris: CNRS-EHESS, 1998), 25–26.

[2]Soleh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 210.

[3]Soleh as-Samarani, Minhāj al-Atqiyā’, 210.

[4]SriMulyati, “Sufism in Indonesia: An Analysis of Nawawī Al-Bantenī’s ‘Salālim Al-Fudalā’.” (PhD diss., McGill University, ProQuest, 1992), microfilm, 38.http://search.proquest.com/docview/89262427/ (diakses 23 Mei, 2017).

[5]Soleh as-Samarani, Majmūàt, 27.

[6]Soleh as-Samarani, Majmūàt, 26.

[7]Soleh as-Samarani, Majmūàt, 27

[8]Soleh as-Samarani, Majmūàt, 27.

[9]Soleh as-Samarani,Minhāj al-Atqiyā’, 43-45.

[10]Soleh as-Samarani, Faṣālatan (Singapore: Matba’ Haji Muhammad Amin, 1897).

[11]Soleh as-Samarani, Laṭā’if al-Ṭahārah wa Asrār al-Ṣalāh, 2. Lihat juga Soleh as-Samarani, Faṣālatan, 2.

Terbit pertama kali di: http://www.nu.or.id/post/read/80227/mbah-sholeh-darat-sang-ghazali-kecil-dari-semarang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.