Beranda Keislaman Gagasan Refleksi Harlah ke-95 Nahdlatul Ulama

Refleksi Harlah ke-95 Nahdlatul Ulama

Fahrizal Yusuf Affandi *

1607
0

Hari-hari ini kita menyaksikan ramalan almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang terbukti: pasca tahun 2000 NU akan panen kelas menengah intelektual baru. Sudah tidak aneh lagi mendapati orang NU dan geliat ke-NU-an di kampus-kampus umum non-agama di dalam negeri bahkan di luar negeri.

Panen kader ini juga dibarengi pergeseran citra NU dari yang semula “kampungan”, “kolot” dan “tradisional” (kontstruksi yang sebetulnya masih bisa diperdebatkan) menjadi imaji baru yang lebih menyegarkan meski tidak sepenuhnya menjadi antitesis citra lama. “Toleran”, “nasionalis”, “moderat”, menjadi imaji baru NU dan Nahdliyin. Generasi mudanya apalagi, progresifitas pemikirannya sering melampaui mereka yang mendaku modernis sembari tetap bertumpu pada akar keilmuan tradisional islam yang kokoh.

Hemat saya, Gus Dur adalah orang paling berjasa menggerakkan arus perubahan pemikiran dan sikap hidup yang tidak hanya mengubah citra tapi juga mengisi identitas baru bagi NU. Sebagai orang yang kerap berada di “wilayah perbatasan kultural” saya merasakan betul pergeseran citra dan jatidiri ini seiring waktu.

Apa yang membuat NU kian mendunia seraya terus bergerak menyesuaikan diri dengan jaman tanpa larut di dalamnya? Tentu saja ada barokah doa dan riyadhoh para pendirinya, yang terus dilestarikan para wali dan ulama yang shalih sesudahnya yang selalu menjadi energi batin yang menggerakkan.

Hal lain yang tak bisa diabaikan adalah semangat kesukarelaan warga NU yang luar biasa. Watak sukarela inilah yang mungkin menjadi pembeda NU dengan yang lain. Kepercayaan akan “barokah” membuat banyak warga NU secara sukarela mengabdi. Hampir tidak ada warga NU yang tidak percaya konsep barokah termasuk kelas intelektual baru yang saya sebut di atas.

Pengalaman berkhidmah di PCI NU Belanda menunjukkan setidaknya : 1) betapa saktinya kepercayaan akan konsep barokah ini memotivasi para diaspora NU untuk berkhidmah bagi NU dan 2) betapa luar biasanya dampak semangat kesukarelaan ini bagi kebangkitan NU secara global.

Identitas ke-NU-an yang cair juga menjadi tempat bagi tumbuh suburnya benih-benih kesukarelaan warga NU. NU adalah organisasi formal sekaligus identitas religius dan komunal. Dua yang terakhir ini membuat orang dengan mudah merasa dirinya bagian dari NU tanpa harus terikat dengan prosedur formal keanggotaan organisasi. Tidak punya Kartanu bukan halangan untuk (merasa) menjadi warga dan berbuat untuk NU. Hal yang sepertinya kelemahan tapi sekaligus menjadi keunggulan NU.

Ke depan NU perlu memformulasikan jalan tengah yang baik bagi dua kecenderungan Jama’ah (komunal) dan jam’iyyah (formal organisasi) ini. Semangat modernisasi organisasi harus mampu menawarkan solusi kanalisasi potensi kesukarelaan warga Nahdliyin secara optimal. Berpijak pada kaidah “Al-muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah” seharusnya menginspirasi NU untuk melestarikan hal-hal yang lama yang baik dan “asyik” seperti semangat guyub dan kesukarelaan dan mentransformasinya untuk menjawab tantangan jaman sehingga yang potensial menjadi aktual.

Selamat hari lahir ke-95 NU! Semoga organisasi kebangkitan para ulama ini semakin digdaya dalam melaksanakan khidmahnya untuk meningkatkan mutu keberagamaan dan mutu kesejahteraan warga NU dan seluruh umat manusia.

*) Kandidat doktor teknologi pasca panen Universitas Wageningen Belanda; Sekretaris PCI NU Belanda 2017-2021

Artikulli paraprakOptimalisasi Peran Koperasi sebagai Sokoguru Ekonomi Nasional Harus Terus didorong
Artikulli tjetërTantangan dan Solusi Koperasi Pertanian di Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.