Dewasa ini sering berseliweran di tengah-tengah kita tuduhan “bid’ah aqidah”, yang dialamatkan kepada sejumlah amaliyah umat Islam karena dianggap sebagai praktik di luar ajaran Rasulullah dan mengadung kesyirikan. Padahal sebenarnya hal itu merupakan amaliah fiqih (bukan aqidah) yang cukup dilandasi dengan dalil-dalil yang bersifat dhanni sebagaimana permasalahan fiqih lainnya. Salah satu amaliyah yang sering dipersepsikan sebagai bid’ah aqidah adalah tawasul. Dalam literatur Ahlussunnah wal Jamaah, ada lima jenis tawasul, yaitu tawasul dengan amal shalih, tawasul dengan orang shalih yang hidup, tawasul dengan orang yang telah meninggal, tawasul dengan yang belum wujud, dan tawasul dengan benda mati. Pada kesempatan ini penulis fokus mengupas tawasul kepada orang shalih yang masih hidup. Tawasul adalah aktivitas mengambil sarana/wasilah agar doa atau ibadahnya dapat diterima dan dikabulkan. Al-wasîlah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu, bentuk jamaknya adalah wasâil (Ibnul Atsir, An-Nihayah fil Gharibil Hadîts wal Atsar, 1421 H, Arab Saudi, Daru Ibnul Jauzi, halaman 185). Sedangkan menurut istilah syari’at, al-wasîlah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyari’atkan (Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, 1992, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyyah, halaman 567 dan Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2012, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, halaman 103). Dengan kata lain, tawasul dalam tinjauan bahasa (terminologi) bermakna mendekatkan diri. Sementara menurut istilah (etimologi) bermakna pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dengan wasilah (media/perantara), baik berupa amal shalih, nama dan sifat, ataupun zat dan jah (derajat) orang shalih, misalnya para nabi, para wali, para ulama, dan sebagainya (Wazarah Al-Auqof, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 1983, Kuwait, Wazarah Al-Auqof, halaman 149-150 dan Yususf Khattar Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999, Damaskus: Nadr, halaman 81). Sebagian orang mempermasalahkan, salah satunya, jenis tawasul dengan menyebut orang-orang shalih (shalihin) atau keistimewaan mereka di sisi Allah. Padahal, mayoritas ulama mengakui keabsahannya secara mutlak, baik saat para shalihin masih hidup maupun sudah wafat. Adapun dalil yang memperkuat tawasul adalah sebagai berikut: 1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Surat Al-Maidah ayat 35: يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah carilah perantara mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kalian bahagia.” (QS. Al-maidah: 35) Kata الْوَسِيْلَة (perantara) dalam ayat di atas jika ditinjau dengan disiplin ilmu ushul fiqih termasuk kata ‘amm (umum), sehingga mencakup berbagai macam perantara. Kata al-wasîlah ini berarti setiap hal yang Allah jadikan sebab kedekatan kepada-Nya dan sebagai media dalam pemenuhan kebutuhan dari-Nya. Prinsip sesuatu dapat dijadikan wasilah adalah sesuatu yang diberikan kedudukan dan kemuliaan oleh Allah. Karenanya, wasilah yang dimaksud dalam ayat ini mencakup berbagai model wasilah, baik berupa para nabi dan shalihin, sepanjang masa hidup dan setelah wafatnya, atau wasilah lain, seperti amal shalih, derajat agung para Nabi dan wali, dan lain sebagainya (Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Mafâhim Yajib ‘an Tushahhah, 118). Jika salah satu wasilah tersebut tidak diperbolehkan, mestinya harus ada dalil pengkhususannya (takhsis). Jika tidak ada maka ayat ini tetap dalam keumumannya, sehingga kata al-wasîlah dalam ayat ini mencakup berbagai model wasilah atau tawasul yang ada. 2. Hadits tawasul sahabat buta kepada Nabi Muhammad ﷺ saat masih Hidup عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله ﷺ وجاءه رجل ضرير فشكا إليه ذهاب صره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله ﷺ : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسى، قال عثمان :فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر “Dari ‘Usman bin Hunaif R.A., beliau berkata; “Aku mendengar Rasulullah ﷺ saat ada seorang lelaki buta datang mengadukan matanya yang tidak berfungsi kepadanya, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah ﷺ, aku tidak punya pemandu dan sangat payah. Beliau bersabda: ‘Pergilah ke tempat wudhu, berwudhu, shalatlah dua raka’at, kemudian berdoalah (dengan redaksi): ‘Wahai Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu, dengan (menyebut) Nabi-Mu Muhammad ﷺ, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadap kepada Tuhan-Mu dengan menyebutmu, karenanya mataku bisa berfungsi kembali. Ya Allah terimalah syafaatnya bagiku, dan tolonglah diriku dalam kesembuhanku.’ ‘Utsman berkata: ‘Demi Allah kami belum sempat berpisah dan perbincangan kami belum begitu lama sampai lelaki itu datang (ke tempat kami) dan sungguh seolah-olah ia tidak pernah buta sama sekali’.” (HR. Al-Hakim, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi. Shahih) Hadits ini menunjukkan, bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkan tawasul dengan menyebut zat beliau semasa hidupnya. Hal ini terbukti dalam doa tersebut disebutkan redaksi: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا محمد إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ “Wahai Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu, dengan (menyebut) Nabi-Mu Muhammad ﷺ, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadap kepada Tuhan-Mu dengan menyebutmu.”3. Hadits tawasul dengan orang shalih yang Hidup Tawasul dengan orang shalih yang hidup, disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari (Imam Bukhori, Shahih Bukhari, 1987, Beirut, Dar Ibn Katsir, halaman 99) sebagai berikut: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ “Diriwayatkan dari Anas bin Malik sesungguhnya Umar bin Khatthab radliyallahu ‘anh ketika masyarakat tertimpa paceklik, dia meminta hujan kepada Allah dengan wasilah Abbas bin Abdul Mutthalib, dia berdoa ‘Ya Allah! Dulu kami bertawasul kepada-Mu dengan perantara Nabi kami, lalu kami diberi hujan. Kini kami bertawasul kepadamu dengan perantara paman Nabi kami, berikanlah kami hujan”. Perawi Hadits mengatakan “Mereka pun diberi hujan.” (HR Bukhari) Dari Hadits di atas, jelas sekali bahwa Sayyidina Umar radliyallahu ‘anh memohon kepada Allah dengan wasilah Abbas, paman Rasulullah ﷺ padahal Sayyidina Umar lebih utama dari Abbas dan dapat memohon kepada Allah tanpa wasilah. Dengan demikian tawasul dengan orang shalih yang masih hidup diperbolehkan. Berpijak pada beberapa keterangan di atas terkait bagaimana Islam memandang tawasul dengan orang shalih yang masih hidup, ada beberapa dasar yang bisa dipakai pegangan, yang pertama Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan tawasul dengan menyebut zat beliau semasa hidupnya, dan yang kedua, Sayyidina Umar bin Khattab memohon kepada Allah dengan wasilah Abbas, paman Rasulullah ﷺ. Hal ini cukup memberikan bukti yang bahwa tawasul dengan orang shalih yang masih hidup diperbolehkan dan dibenarkan dalam syari’at (masyru’iyyah). Wallahu ‘Alam. Aang Fatihul Islam, Ketua Lembaga Dakwah PCNU Jombang