Memeriksa Keabsahan Penetapan Tersangka atau Menguji pokok perkara? Telaah singkat terhadap praktik Pra peradilan pasca Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014

Waktu baca: 7 menit

Fachrizal Afandi*) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memang telah menjadikan penetapan tersangka menjadi yurisdiksi pra peradilan. Akan tetapi dalam hal pemeriksaan bukti permulaan yang cukup yang menjadi dasar penetapan tersangka, secara teori dan norma hukum acara pidana, hakim tunggal pra peradilan harusnya hanya memiliki kewenangan terbatas pada apakah perolehan bukti permulaan tersebut dilakukan secara sah dan benar sesuai prosedur hukum acara dan bukannya turut memeriksa substansi bukti tersebut.

Namun sayangnya, belum genap satu tahun sejak MK tersebut di atas, terdapat beberapa kasus kontroversial dimana hakim tunggal pra peradilan telah melampaui fungsi dan kewenangannya sebagai lembaga pengawas keabsahan prosedur dengan bertindak seolah-seolah menjadi majelis hakim dalam acara pemeriksaan biasa yang juga menguji terpenuhinya unsur dalam hukum pidana materiil. Hal ini menguatkan kekhawatiran banyak pihak bahwa pra peradilan akan dijadikan alat untuk obstruction of justice karena absennya hukum acara yang tegas mengatur prosedur pemeriksaan pra peradilan.[i]

Dari sekian putusan pra peradilan yang kontroversial, Penulis mencatat dua putusan pra peradilan yakni Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY dan Nomor 19/PRA.PER/2016/PN.SBY terkait kasus dugaan korupsi dana hibah Kadin dengan tersangka La Nyalla Mattaliti, setidaknya dapat dijadikan bahan kajian untuk melihat masalah dalam praktik hukum acara pra peradilan. Putusan dalam perkara tersebut menyatakan ketidakabsahan Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang selanjutnya berakibat pula pada ketidakabsahan segala penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, termasuk penetapan tersangka. Lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut;

Pertama, dalam putusan Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY. hakim tunggal pra peradilan menyatakan: “…… penyidikan untuk kedua kalinya atas dana hibah Pemerintah Propinsi Jawa Timur kepada Kadin tersebut haruslah dinyatakan sebagai perkara nebis in idem maka penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Termohon tersebut haruslah dinyatakan tidak sah dan melanggar hukum.”[ii]

Nampak dari putusan hakim tunggal pra peradilan tersebut sebagian besar didasarkan pada keterangan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum dimana dalam salah satu keterangannya dinyatakan: “…menurut ahli tersebut menyatakan terhadap suatu tindak pidana yang pernah dilakukan proses hukum dan sudah berkekuatan hukum tetap kemudian ada proses lain mengulang hal yang sama maka pada dasarnya masuk dalam kategori nebis in idem.”[iii]

Jika kita jeli membaca Pasal 76 (1) KUHP yang jelas secara explisit menyatakan bahwa untuk menilai apakah suatu perkara nebis in idem baru akan ditentukan di tahapan penuntutan di persidangan oleh Majelis Hakim Acara Pemeriksaan Biasa dan bukan dalam tahap pra peradilan (pre-trial). Bahkan jika dibandingkan dengan sistem hukum Belanda, Examining Judge (Rechter-Commissaris) sebagai lembaga yang mirip dengan pra peradilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa substansi bukti dan menentukan apakah suatu perkara telah Nebis in Idem. 

Hal ini sebenarnya sejalan dengan pendapat Prof Edward[iv] yang mendasarkan pendapatnya terkait Nebis in Idem dengan beberapa putusan Hoge Raad Mahkamah Agung dan bukannya putusan Rechter-Commissaris Belanda, karena memang dalam sistem peradilan pidana di negara penganut Civil Law seperti Belanda, pembuktian apakah suatu kasus dikategorikan Nebis in Idem dilakukan oleh Majelis Hakim dan bukan oleh Rechter-Commissaris dalam tahapan pre trial.[v]

Dalam perkara Nomor 11/PRAPER/2016/ PN.SBY, hakim mengakui dalam pertimbangannya bahwa pemeriksaannya telah memasuki pokok perkara.[vi] Di mana terkait soal ini menurut Prof Edward dalam hal tertentu hakim pra peradilan dapat masuk pada pokok perkara: Bahwa pasca putusan MK, hakim pada pra peradilan tidak hanya menguji persoalan formalitas belaka. Tapi dia sudah masuk pada materi subtansi tapi dia hanya masuk pada tahap awal. Sebelum pembuktian pada pokok perkara. Jadi dia tidak hanya melakukan controlling terhadap prosedural tapi dia sudah menjalankan fungsi eksaminasi terhadap pokok perkara.[vii]

Jika hakim tunggal pra peradilan jeli, pendapat yang dijadikan dasar pertimbangan ini kurang pas secara teori dan norma hukum. Lembaga pra peradilan sejak awal di desain untuk mengontrol pelaksanaan hukum pidana formil dengan waktu yang terbatas dan bukan melakukan eksaminasi terhadap hukum pidana materiil.[viii] Penegakan hukum akan menjadi kacau dan tidak pasti jika uji terhadap pencarian kebenaran materiil yang menjadi tujuan utama hukum acara pidana dalam acara pemeriksaan biasa juga dipaksakan untuk dijalankan oleh hakim tunggal pra peradilan.

Karena pandangannya yang menyamakan kedudukan dan kewenangan hakim tunggal pra peradilan dengan Majelis hakim dalam acara pemeriksaan biasa itulah, tidak heran jika ahli lantas menguraikan persoalan nebis in idem beserta prinsip-prinsip hukum pidana yang menyertainya. Padahal lagi-lagi ada perbedaan mendasar antara asas dalam hukum acara pidana (criminal procedure law) dengan asas-asas dalam hukum pidana (criminal law).

Asas-asas hukum acara pidana dapat kita temukan dengan mudah dalam KUHAP yang memang membatasi kekuasaan aparat penegak hukum dalam menggunakan kewenangannya. Selain itu untuk menguji apakah aparat penegak hukum telah melaksanakan kewenangannya sesuai prosedur harus dilihat dari aturan-aturan hingga di level teknis dan bukannya mendasarkan pertimbangannya pada asas abstrak yang bahkan tidak terdapat dalam hukum acara pidana seperti penggunaan asas yang dikutip hakim dalam pertimbangannya ini;

Bahwa apabila terjadi di kemudian hari belum diatur oleh KUHAP, maka kita menggunakan asas exceptio firmat regulan yang artinya hukum acara harus diinterpretasikan selain dari apa yang tertulis, maka terdakwa atau terperiksa harus diuntungkan dari pengecualian itu atau dari interpretasi tersebut. Itulah sistem nilai yang paling mendasar dan melekat pada hukum acara kita;[ix]

Pengertian asas yang dikutip oleh hakim dari pendapat ahli tersebut berdasarkan penelusuran penulis sepertinya kurang pas jika diterapkan dalam konteks perkara ini. Asas ini secara lengkap berbunyi Exceptio firmat regulam (in casibus non exceptis)yang menjelaskan proses keberatan (eksepsi) dari tersangka/tergugat terkait penerapan hukum di persidangan dalam Hukum Romawi dan tidak ada kaitannya dengan metode interpretasi dalam proses pra-peradilan.[x]

Oleh karenanya jika hakim tunggal pra peradilan mau lebih berhati-hati, daripada susah merujuk pada asas hukum yang sulit dipahami, KUHAP dalam Pasal 1 angka 9 telah mengatur asas bebas, jujur, dan tidak memihak yang mengharuskan hakim bersikap imparsial dan obyektif dalam mengadili perkara pidana termasuk dalam proses pra peradilan. Hal ini berarti hakim dilarang untuk memihak kepentingan salah satu pihak baik terdakwa/terperiksa maupun Jaksa sebagai wakil negara karena secara filosofis jaksa juga merupakan representasi kepentingan publik sebagai korban tindak pidana.

Dalam perkara ini, hakim tunggal pra peradilan memutuskan untuk membatalkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor: Print-86/0.5/Fd.1/01/2016 tanggal 27 Januari 2016 karena menganggap Surat perintah ini merupakan bagian dari upaya penetapan tersangka yang bisa diuji oleh lembaga pra-peradilan sebagaimana Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Hakim tunggal pra peradilan mendasarkan pertimbangannya pada pendapat ahli yang dihadirkan di persidangan tanpa mempertimbangan aturan hukum yang lebih mengikat.

…….. memang KUHAP tidak mengatur dengan detail apakah sprindik harus bernama ataukah tidak bernama. Namun, kalau ada perintah penyidikan, berarti ada keyakinan dalam konteks ini adalah penyidik, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Jadi mengumpulkan bukti dalam rangka menemukan siapa tersangkannya. Hanya saja kalau dalam konteks due process of law, kalau kita cari dalam doktrin, semestinya dalam Sprindik tersebut ada namanya, hal ini untuk mencegah jangan sampai kasus ini menjadi bola liar kemudian kemana-mana. Ini lebih pada kepastian hukum. sehingga orang yang akan disangkakan disitu agar tidak masuk pada persangkaan yang tidak wajar. (unfair pre judice) salah satu proses yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Sehingga secara doktrin, mestinya sprindik itu bernama. Sehingga jelas ditujukan kepada siapa. Pada awal yang ahli katakan, harus mengandung sifat keresmian;[xi]

Dalam konteks hukum acara pidana, tidak semua prosedur beracara memang diatur detail dalam KUHAP. Prosedur lebih detil soal pelaksanaan dan tafsir terhadap ketentuan dalam KUHAP dapat ditemukan dalam peraturan pemerintah dan peraturan yang dikeluarkan lembaga negara lainnya. Khusus dalam perkara ini ketentuan terkait Surat Perintah Penyidikan dan hubungannya dengan penetapan tersangka telah diatur secara lugas dan tegas dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia (PERJA) Nomor PER- 017/A/JA/07/2014 jo. PER- 039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus dan juga dapat ditemukan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia(PERKAP) No, 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Jika dibaca lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan di atas, tidak satupun pasal dari peraturan-peraturan tersebut di atas yang menentukan bahwa Surat Perintah Penyidikan harus mencantumkan nama atau identitas tersangka. Hal ini dapat dimaklumi karena penentuan tersangka haruslah dilakukan dengan cermat dan hati-hati karena tidak semua perkara dengan mudah dapat ditemukan tersangkanya di awal penyidikan.

Selain itu kedudukan Peraturan Jaksa Agung sebagai peraturan perundang-undangan lembaga Negara setingkat kementerian mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, apalagi jika hanya dibandingkan dengan pendapat ahli. Hal ini bahkan secara tegas dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana;
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dari sini saja sudah dapat diketahui bahwa hakim tunggal pra peradilan dalam perkara Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY telah bertindak seolah-olah menjadi hakim agung yang memiliki kewenangan untuk juga melakukan uji materiil PERJA dan atau PERKAP terkait penyidikan dan bahkan juga bertindak seolah-olah sebagai badan legislatif yang merumuskan dan membuat norma baru terkait keabsahan Surat Perintah penyidikan dengan mengkaitkannya dengan penetapan tersangka.

Kedua,hampir persis sama dengan putusan di atas, putusan hakim tunggal pra peradilan dalam perkara Nomor 19/PRA.PER/2016/PN.SBY juga bermasalah. Dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan;
…….hakim praperadilan berpendapat bahwa proses dan prosedur Penyidikan dan penetapan tersangka terhadap pemohon disamping tidak sah formal juga secara materiel merupakan pengulangan fakta-fakta terdahulu yang telah dipertanggung jawabkan oleh terpidana: DIAR KUSUMA PUTRA dan terpidana DR.IR.NELSON SEMBIRING.M.Eng.-atau penyelidikan dan penyidikan yang kedua kalinya atas dana hibah pemerintah daerah Jawa- Timur pada Kadin Jawa Timur adalah tidak relevan dan tidak mungkin lagi untuk dibuka kembali sehingga penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan termohon dalam perkara aquo harus dinyatakan tidak sah dan melanggar Hukum.[xii]

Dalam perkara ini, argumentasi hakim dalam pertimbangannya mirip dengan putusan perkara Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY di atas yang lagi-lagi juga memahami bahwa lembaga pra peradilan juga berwenang melakukan pemeriksaan pokok perkara. Hakim tunggal pra peradilan dalam perkara ini mendasarkan putusannya pada keterangan ahli yang dihadirkan pemohon serta menjadikan putusan perkara Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY di atas sebagai pintu masuk untuk menyatakan ketidak absahan Surat Perintah Penyidikan dari Termohon Nomor: Print- 256/O.5/Fd.1/03/2016, tanggal 10 Maret 2016, dan Surat Perintah Penyidikan dari Termohon Nomor: Print-291/O.5/Fd.1/03/2016, tanggal 16 Maret 2016, dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: Kep- 11/O.5/Fd.1/03/2016, tanggal 16 Maret 2016.

Yang menurut penulis paling menarik dalam perkara ini adalah legal standing pemohon pra-peradilan. Bagaimana mungkin seseorang dengan status daftar pencarian orang (DPO) atau buron dapat mengajukan permohonan pra peradilan tanpa adanya usaha dari hakim untuk mempertanyakan keabsahan surat kuasa para pengacaranya atau mewajibkan kehadiran pemohon dalam rangka memastikan niat baik gugatan pra peradilan.[xiii] Bahkan jika diperlukan, untuk memastikan niat baik pemohon yang berstatus DPO ini hakim tunggal pra peradilan harusnya dapat meminta bantuan dari aparat penegak hukum lain untuk melakukan penyelidikan apakah tindakan yang dilakukan merupakan usaha obstruction of justice dalam rangka menghalang-halangi proses penegakan hukum. 
Akhirnya belajar dari dua putusan pra peradilan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya negara untuk segera membentuk peraturan khusus terkait hukum acara pra peradilan.[xiv] Utamanya pasca putusan MK, harus ada aturan khusus yang mengatur sejauh mana hakim pra peradilan dapat melakukan uji prosedur terkait penetapan tersangka. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari kekacauan dan ketidak pastian proses penegakan hukum yang lebih parah di masa mendatang.

[Ditulis dan disusun dalam rangka memenuhi permintaan eksaminasi putusan yang diajukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) Mei 2016, selanjutnya disesuaikan untuk kepentingan publikasi di laman Hukumonline. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Anggara Suwahju (ICJR) yang membantu memberikan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan naskah ini].

*Staf Pengajar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Koordinator Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA UB), saat ini sedang menempuh studi doktoral di Universiteit Leiden Belanda. Saran dan kritik dapat dikirim ke fachrizal@ub.ac.id.


[i] ICJR Desak Pemerintah Terbitkan PP Hukum Acara Praperadilan http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt570fb0c3db77c/icjr-desak-pemerintah-terbitkan-pp-hukum-acara-praperadilan[ii] Putusan pra peradilan Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY. hal 82[iii] Ibid[iv] Ibid, hal 30-33[v] J.H. Crijns and M.A.H. van der WoudeChapter18–TheCriminalJusticeSystem, Book Chapter belum diterbitkan[vi] Putusan pra peradilan Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY. hal 79.[vii] Ibid hal. 40[viii] Loebby Loeqman, 1987, Pra Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta[ix] Putusan pra peradilan Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY, hal 28[x] Lebih lanjut lihat Walter A Shumaker dan Goede Foster Longsdorf, The Cyclopedic Dictionary of law , ST Paul, Minn, Keefe.Davidson Law Book Co. 1901 hal 339-340 prosesa termasuk dalam mengadili gugatan pra peradilan. yang membantu .ukum Pengecualian hanya berlaku untuk keadaan tertentu sa[xi] Ibid, hal 34[xii] Putusan Pra peradilan perkara Nomor 19/PRA.PER/2016/PN.SBY, hal 109[xiii] Bandingkan dengan SEMA 1 tahun 2012 yang mewajibkan kehadiran terpidana dalam permohonan PK[xiv] Usulan soal ketentuan teknis hukum acara pra peradilan ini telah digagas sejak lama oleh ICJR,
lebih lanjut baca di http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/02/Naskah-Akademik-Raperma-Praperadilan_Final.pdf Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt574e7c88a8193/memeriksa-keabsahan-penetapan-tersangka-atau-menguji-pokok-perkara-broleh–fachrizal-afandi-