Oleh: Syahril Siddik, M.A.
Wakil Ketua Tanfidziyah PCI NU Belanda
Kandidat Doktor di Universitas Leiden Belanda
Keinginan untuk kuliah di luar negeri muncul dalam benak saya sejak masih sekolah di Pondok Pesantren Al-Mukhtariyah Rancamacan Mangkubumi Tasikmalaya. Keinginan itu muncul seingat saya ketika saya melihat seorang ilmuan Indonesia lulusan luar negeri di televisi di rumah guru saya. Dalam hati saya katakan saya ingin seperti dia menimba ilmu ke luar negeri. Apalagi agama saya, Islam, menganjurkan agar saya menuntut ilmu sepanjang hayat dan meski harus ke luar negeri. Untuk hijrah dari kampung saya di Sumatera Utara ke Tasikmalaya Jawa Barat, hanya satu tekad saya yang didukung penuh kedua orang tua saya yaitu menuntut ilmu. Perjalanan dari kampung saya ke Jawa Barat pada akhir tahun 1990an dengan bus memakan waktu 3 hari 3 malam. Perjalanan yang cukup melelahkan. Kalau bukan karena tekad kuat untuk menuntut ilmu dan harapan dari orang tua, sulit rasanya menjalaninya sebagai anak yang baru lulus sekolah dasar. Keingin sekolah di pondok pesantren adalah keinginan saya sendiri. Dengan pengalaman menuntut ilmu jauh dari kampung halaman itu, saya rasa tidak akan sulit bagi saya jika harus kuliah di luar negeri berada jauh dari keluarga. Tentu tidak mungkin dengan beaya dari orang tua saya karena beaya kuliah di luar negeri mahal. Saya harus dapat beasiswa seperti ilmuan Indonesia di televisi itu. Keinginan itu saya jaga hingga saya duduk di bangku kuliah jenjang sarjana (S1). Pertanyaan sejak keinginan itu muncul adalah bagaimana saya bisa meraih beasiswa untuk sekolah ke luar negeri?
Menentukan motivasi
Untuk menguatkan keinginan saya, yang pertama saya lakukan adalah menentukan motivasi. Motivasi pertama saya adalah kedua orang tua saya. Mereka punya keinginan kuat untuk sekolah ketika mereka kecil. Akan tetapi, karena keterbatasan beaya, beliau tidak mampu menyelesaikan jejang sekolah dasar. Ibu pernah bercerita kepada saya dan adik saya tentang keinginan mereka untuk menyekolahkan putra-putranya hingga jenjang sarjana. Keinginan orang tua itu menjadi motivasi pertama. Motivasi kedua hadir dari guru saya di pesantren. Guru saya mengatakan bahwa dunia dan akhirat bisa didapat dengan ilmu. Motivasi ketiga adalah mendapat pengalaman baru. Saya yakin dengan saya hijrah menuntut ilmu, saya akan mendapatkan pengalaman baru di luar negeri yang mungkin bisa bermanfaat bagi saya dan bagi orang lain. Ibu pernah bilang hidup tak selebar daun kelor atau jangan seperti katak dalam tempurung. Motivasi keempat adalah ingin nonton sepak bola langsung di stadion-stadion di Eropa. Ini motivasi tambahan saja karena sebenarnya saya baru gandrung dengan bola sejak saya kuliah. Setelah di Eropa pun saya jarang nonton bola langsung di stadion karena mahal dan lebih suka nonton di televisi. Singkatnya, tentukan motivasinya jika ada keinginan kuliah di luar negeri. Itu bisa apa saja. Saya yakin setiap orang punya motivasi berbeda.
Mencari informasi beasiswa
Pencarian informasi beasiswa saya lakukan saat kuliah di semester 7 jenjang sarjana lewat Internet, dosen dan kakak kelas yang sudah pernah berangkat kuliah ke luar negeri, kampus dan lainnya. Dari situ, saya bisa mengetahui ada program beasiswa tahunan seperti beasiswa Fulbright ke Amerika Serikat, Chevening ke Inggris, StuNed ke Belanda, dan lainnya. Saya simpan beberapa informasi di komputer agar setelah lulus sarjana nanti saya bisa update pembukaan pendaftarannya. Saya juga bertanya pada dosen lulusan luar negeri di kampus tentang persiapan apa saja yang bisa dilakukan untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Rata-rata dari mereka sangat mendukung keinginan saya dan teman-teman lain yang ingin kuliah ke luar negeri. Intinya, cari informasi tentang penyedia beasiswa sebanyak mungkin agar bisa melihat kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh mereka. Yang terpenting, cari program beasiswa penuh dan terpercaya karena ada penyedia yang hanya menyediakan biaya kuliah tapi tidak memenuhi biaya hidup bulanan, dan ada penyedia beasiswa palsu yang menipu mahasiswa. Penyedia program beasiswa penuh biasanya tidak pernah menarik uang sepeser pun dari calon penerima beasiswa. Bahkan untuk pelatihan sebelum keberangkatan ke luar negeri, mahasiswa sudah diberi dana untuk persiapan itu.
Gambar: Kanal di dekat Universitas Leiden. Sumber: Syahril Siddik
Penuhi persyaratan
Persyaratan pertama biasanya penyedia beasiswa atau kampus mempunya batas minimal nilai IPK calon penerima beasiswa. Ada yang 3,50 atau 3,25 dari skala IPK 4.00. Untuk meraih itu, maka saya harus kerja keras belajar saat di jenjang sarjana. Saya yakin kesuksesan besar itu lahir dari kesuksesan kita dalam menjalankan tugas-tugas kita sehari-hari. Saya menjaga semangat belajar saya dengan fokus pada keinginan saya kuliah di luar negeri. Faktor lain pendukung keberhasilan, bagi saya, adalah minta restu dan doa orang tua setiap kali kita berhadapan dengan tantangan besar. Misalnya, mau ikut perlombaan, mau ujian dan lainnya. Mendengar suara mereka saja lewat telepon sudah membuat semangat saya bangkit. Saya sering melakukannya saat semangat sedang runtuh, bahkan sampai sekarang. Syarat kedua adalah nilai keterampilan bahasa Inggris harus mencapai batas minimal yang ditentukan penyedia beasiswa. Dulu rata-rata penyedia beasiswa masih menerima hasil tes keterampilan bahasa Inggris TOEFL ITP (institutional) yang minimal nilainya 550 atau 575 untuk bisa kuliah di beberapa kampus di luar negeri. Tes TOEFL menguji keterampilan membaca (reading), mendengarkan (listening), dan tata bahasa (grammar) bahasa Inggris. Sekarang kebanyakan penyedia dan kampus hanya menerima hasil tes IELTS yang menguji 3 keterampilan bahasa di atas ditambah dengan percakapan (speaking). Batas minimal IELTS 6 atau 6,5, ada juga yang 7 untuk setiap keterampilan. Selain 2 syarat utama di atas, ada juga penyedia beasiswa yang mensyaratkan proposal tesis di awal pendaftaran beasiswa ke luar negeri. Untuk memenuhi persyaratan ini, sebaiknya dilakukan beberapa bulan sebelum kita mendaftar beasiswa ke luar negeri. Saya mencoba mengikuti tes TOEFL sejak semester 7 di lembaga kursus bahasa Inggris dengan nilai TOEFL pertama saya 513 sampai kemudian bisa mencapai 575 seingat saya. Karena hanya mencapai nilai 513 saya beli buku pelatihan TOEFL bekas dan mempelajarinya sendiri. Setelah itu saya daftar kursus TOEFL di lembaga kursus. Untuk belajar TOEFL sendiri, saya sediakan waktu 2 jam setiap harinya.
Siapkan kemungkinan terburuk
Keinginan kuliah ke luar negeri dengan beasiswa tidak menjadi satu-satunya keinginan saya. Ketika semester 7 saya berfikir bahwa saya harus bisa kerja setelah lulus kuliah sambil saya mendaftar beberapa beasiswa yang ada. Jadi, jika saya tidak bisa berangkat kuliah ke luar negeri pun tidak akan masalah karena saya sudah punya pekerjaan. Jadi, setelah selesai kuliah sebaiknya mencari kerja. Saya sangat bersyukur karena dosen penguji skripsi saya meminta saya membantunya di kampus setelah dia menerima skripsi saya sehingga saya bisa fokus mendaftar beasiswa keluar negeri. Langkah berikutnya adalah filosopi mancing. Saya teringat waktu kecil di sawah saya biasa mancing ikan di parit. Biasanya saya dan adik memasang 10 pancing di parit berharap dari 10 pancing itu akan ada minimal 1 pancing yang mendapatkan ikan. Faktanya, kadang dapat 5 ikan dan kadang juga tidak dapat sama sekali. Jadi, saya daftar beasiswa yang ada saat itu. Saya daftar beasiswa ke Amerika, Belanda, dan Inggris. Saya fokus yang bisa menerima TOEFL saja karena tes IELTS jauh lebih mahal beayanya. Tujuan utama saya sebenarnya Eropa tapi kalau tidak bisa, Amerika juga boleh. Saya mendapat panggilan untuk wawancara dari penyedia beasiswa Belanda dan Inggris. Informasi kelulusan ke Belanda lebih awal. Sedangkan yang Inggris, diundur tahun depan karena masalah teknis. Akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan studi di Belanda.
Fokus pada diri sendiri
Saya selalu menyimpan keinginan saya dalam hati dan hanya memberitahukan keinginan saya pada orang tua dan adik saat itu. Dalam perjalanan kita meraih impian apapun itu termasuk beasiswa, akan ada orang-orang yang mendukung tapi juga tidak sedikit pula yang bisa membuat motivasi kita pudar. Maka, fokus pada diri sendiri. Kritikan kita dengarkan dan jika bermanfaat kita terima. Cemoohan kita ubah menjadi motivasi agar kita bisa mewujudkan keinginan kita. Tak perlu bereaksi berlebihan. Fokus belajar dengan giat, fokus menyiapkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan keinginan. Selain itu, lakukan yang terbaik untuk setiap tanggung jawab yang kita emban. Ambil semua kesempatan yang bisa mendukung keinginan kita. Misalnya, ikut lomba debat bahasa Inggris, buat komunitas percakapan bahasa Inggris, membaca dan meng-update bidang keilmuan yang akan kita ambil.
Penutup
Keyakinan bahwa keinginan kita akan terwujud harus ditanamkan dalam hati. Keyakinan itu juga harus dirawat dan dijaga dengan membaca buku-buku motivasi. Saat itu saya membaca buku motivasi berjudul The Secret karya Rhonda Byrne dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Buku-buku itu menguatkan tekad dan memotivasi saya untuk berusaha keras mewujudkan keinginan saya kuliah ke luar negeri selain agama saya yang mengatakan Tuhan akan mewujudkan keinginan sesuai dengan keyakinan hamba-Nya. Jika kita menemui kegagalan, jangan patah semangat. Justru jadikan kegagalan sebagai momentum untuk bangkit lebih kuat lagi. Kegagalan mendapatkan beasiswa ke Amerika justru menjadikan saya bersemangat untuk mendaftar beasiswa ke Inggris dan Belanda. Mungkin ada di antara kita juga bisa menjadikan kegagalan meraih beasiswa ke luar negeri untuk bisa sukses di dalam negeri memberi manfaat pada banyak orang, bangsa dan negara. Semoga bermanfaat!