Tanya ustadz!

Sampaikan pertanyaanmu

Klik disini!

Polemik Asas Oportunitas: Kewenangan yang Rentan Disalahgunakan?

Waktu baca: 6 menit

Fachrizal Afandi

GATRAnews  –   Senin, 27 Juni 2016

Prinsip diferensiasi fungsional yang diatur Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada mulanya bertujuan untuk menghindari perseteruan di antara lembaga penegak hukum. Hal ini dilakukan dengan meminimalisir kontrol horizontal dalam setiap tahapan proses acara pidana dan memperkuat kontrol vertikal di masing-masing lembaga penegak hukum melalui mekanisme built in control dalam setiap penggunaan kewenangan dalam proses beracara pidana.

 
Dalam konteks penggunaan asas oportunitas, mekanisme built in control ini bahkan telah ada sejak UU 15/1961 tentang Kejaksaan dengan membatasi penggunaan asas ini hanya oleh Jaksa Agung dan bukan diberikan kepada setiap jaksa penuntut umum seperti pada masa sebelumnya. Hal ini dapat dipahami karena Wetboek van Strafvordering yang mengatur soal mekanisme pengawasan horizontal melalui peran Hakim Komisaris tidak dipilih sebagai hukum acara yang berlaku pasca Indonesia merdeka.
 
Namun demikian, harapan KUHAP untuk menghindari perseteruan di antara lembaga penegak hukum tampaknya sulit untuk dicapai, tercatat beberapa kali konflik kewenangan di antara lembaga penegak hukum berujung pada saling unjuk kekuasaan dan menimbulkan kegaduhan publik hingga dianggap mengganggu kepentingan umum.
 
Pada 2015 lalu, perseteruan antara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang dan melahirkan perseteruan baru antara Polri dan Kejaksaan RI. Perseteruan yang diawali dari penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh KPK ini lantas dibalas oleh Polri dengan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pimpinan KPK Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) serta satu orang penyidik KPK Novel Baswedan (NB) selang kurang lebih 1 bulan kemudian.
 
Jika kembali merunut catatan sejarah, perseteruan serupa dengan saling unjuk kekuasaan juga pernah terjadi saat Jaksa Agung Mr. Gatot Tarunamihardja ditangkap dan ditahan atas perintah Penguasa Perang Pusat Jenderal Nasution karena getolnya Kejaksaan waktu itu melakukan pemberantasan penyelundupan yang juga dilakukan oleh beberapa oknum militer. 
 
Presiden Soekarno waktu itu melalui Keppres No. 273/M/1959 mengganti Jaksa Agung Gatot dan melakukan mutasi terhadap para perwira militer yang terlibat dalam perkara penyelundupan itu. Hal yang hampir sama saat Presiden Jokowi mengganti para pimpinan KPK yang terkena kasus hukum.
 
Dua kasus perseteruan antar lembaga negara yang terjadi dalam rentang hampir 50 tahun tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat masalah serius terhadap pelaksanaan konsep Rule of Law yang dianut tegas dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia(UUD). Dalam kedua kejadian tersebut terlihat jelas dengan meminjam pendekatan Bedner (2010) bagaimana elemen Rule of Law tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seperti penggunaan prosedur hukum yang digunakan untuk kepentingan politik dengan menggunakan alasan-alasan normatif perundang-undangan tanpa mekanisme kontrol yang memadai.
 
Kembali ke konflik KPK dan Polri yang berimbas kepada Kejaksaan sekarang ini. Adalah keputusan Seponering kasus AS dan BW serta SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) kasus NB yang membuat pihak Polri meradang. Beberapa organisasi yang memiliki afiliasi kuat dengan Kepolisian seperti Keluarga besar Putra-putri Polri, Indonesia Police Watch, Ikatan Sarjana dan Profesi Kepolisian serta beberapa organisasi lainnya mengajukan perlawanan terhadap keputusan Kejaksaan tersebut melalui 3 (tiga) jalur; Pra-peradilan, Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dan juga Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
 
Hasilnya, pada sekitar Maret 2016 lalu hakim pra-peradilan menolak gugatan terkait SKPP NB dan Seponering AS dan BW, untuk gugatan PTUN setidaknya sampai tulisan ini dibuat sulit untuk dilacak perkembangan perkaranya. Dan terakhir tentu yang paling menarik adalah mengikuti bagaimana perkembangan Judicial Review dengan perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016 yang hingga Juni 2016 ini masih berlangsung di MK.
 
Pasal yang di Judicial Review adalah Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan beserta penjelasannya. Dalam petitumnya, secara tersirat terlihat jelas motivasi pengajuan judicial review ini masih terkait dengan konflik antara KPK dan Polri tahun 2015 lalu. Hal inilah yang kemudian menjadikan pemohon menganggap bahwa kewenangan Jaksa Agung berdasarkan asas oportunitas dalam mengeluarkan Keputusan Seponering atau pengenyampingan perkara berdasarkan Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan sangat rentan untuk disalahgunakan.
 
Indonesia sebagai negara yang mewarisi sistem hukum Belanda, secara otomatis memberlakukan asas oportunitas dalam sistem peradilan pidananya. Hal ini bisa dilihat dalam pencantuman asas ini dalam pasal 167 Strafvordering 1926 dan juga dalam RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie), Stb, 1847-23 jo 1848-58 yang juga berlaku di Hindia Belanda pada waktu itu. 
 
Setelah kemerdekaan tahun 1945, saat pemerintah Indonesia memilih memberlakukan HIR (Herzien Inlandsch Reglement atau disebut juga Reglemen Indonesia yang dibaharui), kejaksaan tetap memiliki kewenangan untuk melakukan asas oportunitas berdasarkan ketentuan RO ini.
 
Pada perkembangannya muncul perdebatan siapakah yang sebenarnya memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan pidana berdasarkan asas oportunitas. Tercatat di zaman Jaksa Agung Soeprapto di tahun 1950-an. Soekarno beranggapan bahwa kewenangan asas oportunitas harus dimiliki oleh Presiden namun pendapat ini ditentang keras oleh Jaksa Agung Soeprapto yang menyatakan bahwa asas oportunitas adalah milik kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan yudisial yang sepenuhnya independen. 
 
Hal ini yang kemudian menjadi salah satu hal yang berujung pada pemberhentian Soeprapto sebagai Jaksa Agung dan kemudian mengubah posisi kejaksaan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif. 
 
Asas oportunitas/asas ekpediensi yang waktu itu dimiliki oleh setiap jaksa penuntut umum dianggap sebagai kewenangan besar yang sangat rentan disalahgunakan. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu sebab yang mengilhami pembatasan penggunaan asas ini hanya oleh Jaksa Agung pada UU 15/1961 tentang Kejaksaan. 
 
Penggunaan asas ini lantas lebih dibatasi lagi di masa rezim otoriter Orde Baru dalam UU 5/1991 di mana Jaksa Agung baru bisa mengesampingkan perkara setelah mendapatkan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang memiliki hubungan dengan masalah tersebut. Dan juga dapat melaporkan terlebih dahulu rencana pengesampingan perkara kepada Presiden untuk mendapatkan petunjuk.
 
Saat bergulirnya era Reformasi yang menandai berakhirnya rezim otoriter Orde Baru, pada tahun 2000 dikeluarkanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR N0. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Kedua TAP MPR ini menandai berakhirnya peran militer dalam bidang penegakan hukum dan dikembalikan ke kekuasaan sipil.
 
Secara garis besar, sejak saat itu ada semangat untuk mengembalikan dominus litis atau pengendali proses pra-penuntutan kepada jaksa dan bukan pada lembaga lain di luar system peradilan pidana seperti yang terjadi pada saat Orde Baru di mana peran Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang pada tahun 1988 berganti nama menjadi Bakorstanas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional) yang dipimpin oleh Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sangat dominan dalam proses penegakan hukum.
 
Hal yang juga diikuti oleh lahirnya UU 16/2004 tentang Kejaksaan yang sedikit memperkuat kewenangan kejaksaan dalam proses supervisi penyidikan dengan melakukan pemeriksaan tambahan pasca penyerahan berkas oleh penyidik. UU ini juga menghilangkan ketentuan laporan kepada Presiden untuk mendapatkan petunjuk dalam hal penggunaan asas oportunitas.
 
Oleh sebab itu, idealnya sejak reformasi digulirkan, sejak saat itu pula seharusnya pola penyidikan ala militer yang diterapkan kepolisian sudah harus dihilangkan dan disesuaikan dengan kepentingan penegakan hukum sipil yang lebih akuntabel dan dapat dikontrol secara horizontal oleh lembaga penuntutan. Apalagi tercatat sejak reformasi bergulir tak kurang dari 20 lebih lembaga negara yang juga memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Hal yang semakin menguatkan pentingnya asas oportunitas sebagai filtering perkara dalam sistem peradilan pidana. 
 
Beragamnya lembaga negara dalam tahap penyidikan yang memiliki kewenangan melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan sangat berisiko melanggar hak warga negara. Sebagai ilustrasi, misalnya jika seorang anggota masyarakat hukum Adat ditangkap oleh PPNS Kehutanan karena dituduh melakukan illegal logging dan memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan. Pada saat yang sama diketahui bahwa masyarakat Adat tersebut menebang beberapa pohon dengan memperhatikan kearifan lokal meski masih ada sengketa penetapan wilayah hutan Adat dengan penguasaan HPH oleh salah satu perusahaan asing. 
 
Di sinilah kemudian dominus litis kejaksaan diuji apakah akan tetap menuntut perkara ini di persidangan ataukah akan mengajukan pengesampingan perkara ke Jaksa Agung melalui asas oportunitas yang dimilikinya untuk meminimalisir dampak sosial yang serius mengingat misalnya meskipun sudah terdapat 2 (dua) alat bukti namun berdasarkan data yang didapatkan intelejen kejaksaan diperoleh informasi bahwa ada kepentingan perusahaan asing yang berada di balik perkara pidana yang dilakukan oleh anggota masyarakat adat ini.
 
Dari ilustrasi ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan asas oportunitas pada gilirannya adalah bertujuan untuk menjamin hak untuk mempertahankan hidup (Pasal 28A UUD), hak untuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD), hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif (Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD).
 
Meski sejak tahun 1961 kewenangan ini secara hukum diatur dalam UU Kejaksaan tidak lebih dari 10 (sepuluh) perkara pidana yang di seponeer oleh Kejaksaan. Angka ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara civil law yang sama-sama menganut asas ekpediensi seperti Indonesia, per-tahun hampir 50% perkara pidananya dikesampingkan dengan asas Oportunitas. 
 
Jika kemudian dikaitkan dengan alasan gugatan perkara nomor 29/PUU-XIV/2016 yang menyatakan penggunaan asas oportunitas rentan disalah-gunakan, maka setidaknya tampak bahwa argumen tersebut sangat tidak beralasan. Hal ini setidaknya dapat dilihat; Pertama dari jarangnya asas ini digunakan oleh Jaksa Agung dan hanya menyasar kepada perkara-perkara pidana kontroversial yang menarik perhatian masyarakat sehingga mengganggu kepentingan umum. 
 
Kedua, kontrol terhadap pelaksanaan asas ini yang ketat yang secara limitatif memberikan peluang hanya kepada Jaksa Agung untuk men-seponeer suatu perkara pidana setelah mendengarkan saran dari lembaga terkait. Hal ini dapat dipahami sebagai pelaksanaan kontrol vertikal ala KUHAP yang memberikan sedikit peluang untuk penyalah gunaan kewenangan.
 
Frasa mendengarkan saran dari lembaga-lembaga terkait memang mengandung makna Jaksa Agung tidak wajib mematuhi saran tersebut saat mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Namun demikian bukan berarti Jaksa Agung dalam pengertian ini adalah individu yang bebas bertindak sesuka hatinya. Sebagai pejabat negara dan penuntut umum tertinggi di lembaga kejaksaan memang independensi Jaksa Agung dijamin oleh UU dan konstitusi. 
 
Namun dalam rangka pengambilan keputusan termasuk saat mengenyampingkan perkara, ada prosedur dan pengawasan internal kejaksaan yang harus dipatuhi oleh para jaksa termasuk Jaksa Agung sekalipun. Inilah yang dimaksud dengan mekanisme built in control dalam prinsip diferensiasi fungsional yang diperkenalkan dan dianut KUHAP. 
 
Hal yang berbeda jika kemudian kewenangan seponeer diberikan kepada setiap jaksa penuntut umum seperti yang dipraktikkan di negara-negara penganut asas oportunitas di belahan dunia lain, maka asas oportunitas dalam konteks ini harus bisa diuji keabsahannya secara horizontal oleh hakim pengadilan sebagai bagian dari kekuasaan yudisial.


Fachrizal Afandi
Pengajar Hukum Acara Pidana Universitas Brawijaya Malang, 
PhD Candidate at the Van Vollenhoven Intitute Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden, Belanda

http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/207606-polemik-asas-oportunitas-kewenangan-yang-rentan-disalahgunakan