Tanya ustadz!

Sampaikan pertanyaanmu

Klik disini!

Tembang Macapat dalam Catatan Santri

Waktu baca: 15 menit

“Kita tidak akan pernah mengalami berjalan-jalan di Mojokuto dari ujung ke ujung tanpa mendengar seseorang menyanyikan tembang di salah satu tempat di sepanjang jalan itu.”

Begitu kesaksian Geertz dalam Religion of Java atas kepopuleran tembang, termasuk tembang macapat, di masyarakat Jawa.

Macapat, jenis puisi Jawa, erat dengan unsur nyanyian ini memang popular di masyarakat Jawa (yang berbahasa Jawa). Dalam beragam acara, macapat ditembangkan. Dalam Matjapat Songs in Central and West Java, Margaret J. Kartomi memberikan daftar beberapa acara di mana tembang macapat disenandungkan secara profesional maupun tidak.

Di antaranya, ketika seorang ibu menidurkan anaknya, maka yang dinyanyikan adalah tembang macapat. Saat selamatan atas beragam nikmat yang diterima, seperti memiliki rumah baru, hamil tujuh bulan, anak menginjak usia tujuh hari (berbarengan dengan akikah), tembang-tembang macapat yang sesuai dengan situasi dinyanyikan.

Namun itu dahulu. Sekarang, di banyak daerah kebudayaan ini luntur seiring dengan perjalanan waktu dan d.  Penetrasi modernitas.  Allasan yang muncul adalah karena tulisan-tulisan peneliti Barat, yang tidak memahami psikologi masyarakat yang mereka teliti, mengasosiasikan tembang-tembang ini dengan beragam ide.

Mereka, seperti Margaret J. Kartomi, melakukan framing wacana secara tidak fair dan tanpa pengetahuan yang memadahi akan pemaknaan terhadap tembang macapat tersebut di masyarakat. Hasilnya, tembang ini hanya dianggap sebagai simbolisasi dari ajaran animisme-pagan, Hindu-Budda, dan sedikit saja Islam.

Oleh sebab itu, orang melakukan asosiasi keliru (guilt by association). Bahwa menyanyikan macapat, seakan pengagungan terhadap dewa-dewa Hindu-Budda, atau pujian terhadap roh-roh. Di sini, perubahan bahasa Jawa yang berlangsung begitu cepat, ikut berperan terhadap pemahaman masyarakat terhadap konten tembang-tembang itu sendiri.

Macapat Santri

Orang yang membaca tembang macapat di Jawa, lalu membaca ghazzal Jalaluddin Rumi dari Persia akan menemukan paralelisasi keduanya. Dalam puisi Rumi, kisah-kisah tradisi kuno Persia sebelum Islam dihidupkan dan dijalin begitu rupa dengan pengalaman mistik personal. Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam menyebutkan beberapa contoh bagaimana tradisi dari Yunani Kuno dan Kristen diberi nilai baru dalam situasi Islam di puisi-puisi Rumi.

Perujukan terhadap Sayidina Isa dan Bunda Maryam terdapat sangat banyak dalam karya-karya puisi Rumi. Perujukan yang tampaknya diperkuat dengan kondisi masyarakat Konya yang kosmopolit, hidup di dalamnya tradisi leluhur para penganut Kristen.

Pada pembukaan Matsnawi, Rumi juga meminjam tradisi Yunani kuno tentang kisah “Raja Midas”. Rumi berkomentar:

“Kamu mungkin pernah membacanya di Kalila,

Namun bahwa inti dari cerita itulah – itulah makanan bagi jiwa.”

Sikap terbuka terhadap puisi semacam ini yang juga dihidupkan di masyarakat Islam di Nusantara, termasuk Jawa. Puisi, termasuk penggambaran tokoh-tokoh masa lalu, dianggap sebagai wadah bagi ajaran Islam.

Di Jawa, kita melihat bagaimana para penyair mistik menjadikan kisah Dewa Ruci sebagai simbol yang sangat tepat untuk menunjukkan kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos dalam pemahaman para sufi. Sesuatu yang dilandaskan pada ajaran luhur, “siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya”.

Keteladanan yang ada dalam tokoh-tokoh Mahabarata dan Ramayana pun diberikan kehidupan baru. Bahwa seorang yang hendak menjadi istri yang baik, maka tirulah Sinta. Sedangkan untuk menjadi suami yang baik maka lihatlah Rama.

Tradisi macapat ini sebagai sarana menerjemahkan Islam dalam konteks lokalitasnya dapat kita sebut sebagai macapat santri. Bukti menunjukkan bahwa teks-teks tertua yang masih bertahan dan yang ditulis dalam bentuk tembang macapat adalah panduan keagamaan Islam. Di dalamnya, dalam arti keislaman yang luas, kita dapat memasukkan semua jenis teks yang ditulis dalam tradisi tembang macapat ini.  Tidak hanya kitab-kitab yang disebut suluk, yang memang secara langsung berisi bimbingan bagaimana menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba, namun juga kitab-kitab babad, kidung, dan lakon.

Bukti “Baru”

Sebuah halaman manuskrip membuktikan bahwa tradisi menembangkan macapat benar-benar dihidupkan di kalangan santri sejak masa lalu. Sebelumnya, saya menyebutkan Serat Tuhfah, yang merupakan bukti bahwa kejeniusan santri jawa dalam menggubah kitab berbahasa Arab Tuhfatul Mursalah menjadi tembang macapat. Kali ini, saya menemukan bukti lain dari sebuah manuskrip dari Pesantren Sumber Anyar Tlanakan, Pamekasan, Madura.

Kitab ini berisi kajian ilmu tasawuf. Saya belum bisa mengidentifikasi kitab apa yang dikaji santri di pondok pesantren ini. Namun konten ilmu hikmah, atau tasawuf, jelas terlihat pada halaman berikut.

Tertulis di sana:

“Takdir dan tindakan manusia berjalan beriringan. Tidak bisa sebuah tindakan manusia berjalan sendiri tanpa adanya takdir Allah Swt. Dan tidak pula takdir mewujud pada tindakan hamba tanpa ikhtiar dan usaha (kasb) dari sisi manusia. Padahal manusia akan diberikan ganjaran atas kebaikan dan akan disiksa atas keburukan. Hal demikian karena manusia memiliki usaha. Ganjaran dan siksa bergantung pada apa yang dilakukan seorang hamba, yaitu pilihannya.”

Manuskrip ini saya dapatkan dari Zainul Adzfar, salah seorang tim peneliti dari Balai Litbang Kantor Kementerian Agama Semarang yang diterjunkan ke Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan. Dalam usaha pelestarian itu, kitab yang ditemukan berasal dari beragam periode. Mungkin, yang tertua adalah kitab Bahrul Lahut yang diperkirakan salinan ini ditulis pada abad ke-17.

Manuskrip yang kita kaji ini, juga ditulis pada kertas daluwang seperti kitab Bahrul Lahut di atas. Manuskrip ini ditulis dalam bahasa Jawa menggunakan aksara pegon. Bahasa Jawa yang digunakan cukup tua, di dalamnya kita masih menemukan kata-kata “miwah”, “kewala”, dan “tan”. Karakter penulisan pegon dalam manuskrip ini pun cukup tua.

Di dalamnya kita tidak menemukan simbol/rumus bagi kedudukan gramatika Arab, sesuatu yang biasa digunakan santri sejak abad ke-20. Sebagai penanda gramatika Arab, kitab masih menggunakan kata-kata “utawi” dan “iku” bukan huruf “mim” dan “kho”. Dari karakter pegon ini, kemungkinan kitab berada ditulis di rentang abad ke-18.

Yang menarik dari manuskrip ini adalah penggunaan tembang macapat untuk menjelaskan ajaran ilmu hikmah di atas. Santri yang mengaji ini sangat cerdas sehingga dia melengkapi ngaji-kitab tidak hanya dengan makna gandul dan keterangan yang dia dapat dari gurunya, namun juga dengan tembang macapat. Nampaknya, tembang ini digunakan agar ajaran tentang takdir di atas mudah diingat, mudah pula dijelaskan kepada masyarakat.

Dalam halaman manuskrip kita melihat:

Puh Sinom:

Tan wruh maqsudipun sastra

Yen karsa imam sinomi

Qudrah anyari kawula

Kang anyare ngi penggawi

Kang lawan ihtiyari

Tur nora ana labetipun

Qudrah anyar punika

Ing af’al ihtiyari

Pan kewala amuhung daddi pratandha

Bukti ini menunjukkan bahwa di pesantren di masa lalu, menembangkan macapat dihidupkan dan diberi energi baru sebagai wadah popular bagi ajaran kitab yang sedang dikaji.

Kembali kepada Geertz di atas, barangkali kita bisa membayangkan di satu saat bahwa yang Geertz dengar ketika berjalan di Mojokuto adalah tembang seorang santri yang sedang mengingat ajaran-ajaran yang dipelajarinya di pesantren. Bukan?

Oleh Nur Ahmad

Tulisan ini diterbitkan pertama di Alif.id

Islamisasi Jawa: Mati bersama Cahaya

Ditulis oleh Nur AhmadManuskrip Islam Nusantara Ditayangkan: 28 Januari 2018 Dilihat: 1394

GAMBAR 1 Syahadat Sekarat

Proses bagaimana Islam menjadi agama masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya, sangat kompleks. Analisis yang selama ini ada diakui masih jauh dari kata final dan konklusif. Masih terbuka ruang lebar bagi masuknya data-data baru dan analisis lebih lanjut mengenainya. Hal ini misalnya diperoleh dari semakin gencarnya usaha menggali manuskrip Islam yang memberikan gambaran bagaimana elemen-elemen Jawa pra- dan pasca-Islam berdialog dan saling mengambil unsur di antara mereka untuk terus hidup di masyarakat.

Oleh sebab itu, perlu kesabaran dan ketekunan lebih dalam melakukan kajian kesejarahan Islam Jawa. Beberapa kajian yang relatif singkat dapat memberikan kesimpulan keliru yang harus dibaca sebagai sejarah pemikiran tentang Islam Jawa itu sendiri. Ia adalah proses melihat Islam Jawa yang sangat mungkin direvisi, diperkuat, atau bahkan berubah sama sekali karena masuknya bukti-bukti baru. Hal ini sudah jamak diketahui misalnya dari kasus Islam Jawa-nya Clifford Geertz (2014), dan pandangan Merle Calvin Ricklefs (dalam Zainul Milal Bilzawie, 2014) mengenai aksara pegon. Yang terakhir secara keliru menilai bahwa pegon tidak memiliki karakteristik tempat dan waktu. Kajian Amiq Ahyad di Universitas Leiden baru-baru ini mengenai manuskrip pesantren memberikan bukti bahwa pegon dari satu daerah memiliki kekhasan yang membedakannya dari daerah lainnya. Bahkan satu pesantren di satu daerah bisa memiliki karakter yang konklusif dalam membedakannya dengan pesantren lain di daerah yang sama. Selain itu, perbedaan kosakata yang muncul dalam satu manuskrip pegon bisa memberikan gambaran kasar mengenai periode waktu penulisannya.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan pada salah satu konsep yang membuktikan betapa rumitnya hubungan antara elemen-elemen yang (pernah) hidup dalam Islam Jawa. Praktik spiritualitas yang ditandai dengan penglihatan batiniah (visionary perception) berupa cahaya sangat penting dalam tradisi tarekat Kubrawiyah. Martin van Bruinessen (2012) mengajukan analisis yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa pendiri Kubrawiyah inilah, yaitu Najmuddin al-Kubra, yang di Nusantara dikenal secara misterius dengan Syeikh Jumadil Kubro. Namun dalam tradisi yang sebelumnya telah ada di Jawa, Tantrisme, praktik yang sama juga merupakan tradisi yang hidup (Martin, 2012).

Sekarang, dari sini kita dapat menjelaskan bagaimana praktik yang pernah sangat terkenal di Nusantara lahir. Yaitu mengenai apa saja yang akan dihadapi manusia ketika sekarat dan apa yang harus dia lakukan. Salah satu naskah yang paling muda yang masih mengandung ajaran ini berasal dari Jepara di awal abad ke-19. Ia ditulis oleh seorang tokoh agamawan setempat yang jelas sekali merupakan keturunan ulama dari Hadramaut. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pendakwah dari Hadramaut pun secara lekat mengikuti dialog langsung dengan tanpa mengambil jarak dengan obyeknya di dalam masyarakat Jawa. Orang barangkali dapat menilainya sebagai contoh seorang yang menusantara, “angajawi” dalam teks-teks Islam Jawa.

“Syahadat Sekarat”, demikian praktik ini dikenal, mengandung unsur-unsur yang dapat kita runut dari tradisi Kubrawiyah dan Tantrisme ini. Berikut teksnya:

(Gambar 1. Teks “Syahadat Sekarat”, hlm. 65 dari manuskrip yang disimpan K.H. Ubaidillah Noor Umar, Rois Syuriah PCNU Jepara. Saya dapatkan kopiannya dari pak Hisyam Zamroni, Wakil Ketua PCNU Jepara. Foto pribadi.)

Punika/ syahadat sekarat tatkala parak ajale asanget/ warnaning pati iku maka aningali ing cahya ireng maka/ iya iku iblis maka amacaha lā ilāha illallāhu Muammad/ar Rasūlullāh (suatu tanda seperti bunga) maka tatkala aningali cahya kuning maka/ iya iku yahudi maka amacaha lā ilāha illallāhu Huwa2/ (suatu tanda seperti bunga) maka tatkala aningali cahya abang maka iya (teks tak terbaca, mungkin “iku”) bashari maka amacaha lā ilāha illallāhu Huwa Huwa2  maka/ tatkala aningali cahya ijo maka iya iku Jabrail/ fataqabbalallāhu Huwa Huwa2 (suatu tanda seperti bunga) maka tatkala aningali cahya/ putih maka iya iku Nabi Muhammad maka amacaha/ Huwa Huwa tegese syahdat sekarat (suatu tanda berhenti dan tulisan “tamat”)

Terjemahan teks:

Ini adalah syahadat sekarat (yang orang lihat) ketika menjelang mati. Jenis-jenis mati itu adalah (1) ketika melihat cahaya hitam, itu adalah iblis, maka bacalah lā ilāha illallāhu Muammadar Rasūlullāh “Tiada tuhan melainkan Tuhan, Muhammad adalah utusan Tuhan” (suatu tanda seperti bunga). (2) ketika melihat cahaya kuning, itu adalah yahudi, maka bacalah lā ilāha illallāhu Huwa2, “Tiada tuhan melainkan Tuhan, Dia! Dia!” (suatu tanda seperti bunga). (3) ketika melihat cahaya merah, itu adalah manusia, maka bacalah lā ilāha illallāhu Huwa Huwa2, “Tiada tuhan melainkan Tuhan, Dia! Dia! Dia!”(4) ketika melihat cahaya hijau, itu adalah Jibril, (bacalah) fataqabbalallāhu Huwa Huwa2, “Semoga Allah menerima (amal kebajikan), Dia! Dia! Dia!(suatu tanda seperti bunga). (5) ketika melihat cahaya putih, itu adalah Nabi Muhammad, maka bacalah Huwa Huwa, “Dia! Dia!”. Inilah penjelasan syahadat sekarat (suatu tanda berhenti dan tulisan “tamat”).

Gambar 2 Info grafis

(Gambar 2. Info grafis Syahadat Sekarat. Pribadi.)

Praktik semacam ini yang sangat sulit ditemukan dalam ortodoksi murni, jika ada, mengundang dua pandangan yang mungkin. Ia akan dikecam sebagai usaha mengotori Islam dengan bidah, khurofat, dan sesat di satu sisi. Atau ia akan diapresiasi sebagai kreatifitas dalam berdakwah yang mana menuntut kemampuan “meracik” apa yang tidak dilarang oleh nash-nash utama, al-Qur’an dan hadis, di lain sisi. Yang jelas abad ke-19 adalah akhir dari praktik ini, karena terbukanya terusan Suez di pertengahan abad itu disinyalir membawa dampak gelombang pembaharuan yang menuntut adanya penekanan terhadap ortodoksi terbatas yang tokoh-tokohnya, misalnya, adalah K.H. Sholeh Darat, Syeikh Nawawi Banten, dan Syaikhuna Kholil Bangkalan.

Terbit pertama kali di Alif.id

Kitab Fikih di Jawa abad ke-17

Ditulis oleh Nur AhmadManuskrip Islam Nusantara Ditayangkan: 26 November 2017 Dilihat: 5046

folium 5 verso halaman pertama kitab

Ini adalah folio 5 verso dari manuskrip Sloane 2645 yang memuat halaman pertama teks fikih al-Muqaddimah al-Haḍramiyyah. Info kodikologis mengenai manuskrip ini telah saya sampaikan pada tulisan saya “inikah manuskrip pegon tertua di dunia?” Yang penting saya sampaikan di sini berkaitan dengan sisi kodikologisnya adalah bahwa manuskrip ini berkolofon tahun 1545 Saka atau 1623 Masehi. Ia merupakan sampel manuskrip pegon tertua yang sejauh ini ditemukan.

Setelah membahas sisi fisik dan keberadaan naskah pada tulisan yang lalu, sekarang, saya ingin membahas isinya. Hal ini penting karena teks dalam naskah ini dapat memberikan kita gambaran penting mengenai kurikulum pesantren pada masa itu. Ia juga dapat memberikan gambaran sejarah perkembangan penulisan pegon di nusantara. Lebih dari keduanya, teks ini juga dapat menjadi bukti jejaring keilmuan di Jawa pada abad ke-17 itu.

Ada beberapa teks dalam naskah berjumlah 120 folia ini. Namun yang hendak saya bahas adalah isi utama kitab ini yang dimulai folium 5 recto hingga folium 116 rectoInsyaAllah, teks lainnya, yang juga amat penting, akan dibahas dalam tulisan mendatang. Teks lengkap yang dikandung manuskrip kita adalah kitab ringkas dalam fikih madzhab Syāfi’ī, yaitu Masā’il al-Ta’līm. Kitab ini juga dikenal dengan naman Mukhtashar Bā Faḍl dan lebih populer lagi dengan nama al-Muqaddimah al-Haḍramiyyah.

Santri yang menyalin kitab ini bernama ‘Abdul Qadīm (lihat folium 116 recto). Sayangnya, saya tidak mengetahui lebih jauh jati diri penyalin ini, di mana ia mondok dan kepada siapa dia mengaji kitab ini. Dan memang informasi mengenai tradisi penyalinan naskah pegon nusantara kurang mendapat perhatian dibandingkan naskah Jawi, misalnya, yang mana beberapa penyalin yang terkenal sudah dapat diidentifikasi.

folium 116 recto kolofon berisi nama penyalin dan tahun penyalinan

Betapapun, kita bisa mendapatkan informasi cukup mengenai pengarang kitab al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah ini. Dia adalah al-’Allāmah ’Abdullāh bin ’Abdurraḥmān Balḥāj Bāfaḍl (850H-918H/ 1446M-1512M) dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Beliau lahir di Tarim dan tumbuh di sana hingga memiliki dasar ilmu yang kuat. Lalu beliau berkelana mencari ilmu ke ‘Aden yang terkenal dengan para ulama yang ahli fikih. Lalu beliau melanjutkan perjalanan ilmiah ke dua kota suci, Mekkah dan Madinah. Di Madinah beliau bertemu dengan banyak ulama di sana (Sa’d bin Muhammad Ba ‘isyn, 2004, 8-21).

Sebelumnya, kita diberitahu bahwa Mukhtashar Bā Faḍl telah dikaji di nusantara, namun dalam bentuk syarah dan hasyiyah atasnya dari catatan Van den Berg. Di akhir abad ke-19, sarjana Belanda itu mendaftar kitab-kitab yang dikaji di pesantren di Jawa yang di dalamnya muncul kitab Minhāj al-Qawīm karya Ibn Ḥajar al-Haitamī (w. 973H/1565-6 M) yang merupakan syarah dan kitab al-Ḥawāsyī al-Madaniyyah karya Sulaimān al-Kurdī (w. 1194 H/1780 M) yang merupakan hasyiyah atas syarah Ibn Ḥajar. Seabad yang lalu, Martin van Bruinessen melakukan usaha yang sama dan hasilnya kitab al-Ḥawāsyī al-Madaniyyah sudah hilang dari peredaran di pesantren, atau tidak populer lagi. (Bruinessen, 2012, 129-130).

Dengan demikian keberadaan teks matan al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah membuktikan bahwa teks ini sudah dikaji sejak berbentuk matannya. Ia juga menjadi salah satu penyokong utama atas hipotesa Bruinessen bahwa fikih telah dikaji sejak abad ke-16 yang lalu (Bruinessen, 2012, 129-130). Dalam konteks kitab yang kita bahas, asumsi yang sangat mungkin adalah kitab al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah sudah dikaji sebelum syarahnya, Minhāj al-Qawīm lahir(pertengahan abad ke-16 M), karena kita lihat bahwa setelah itu, Minhāj al-Qawīm menggantikan matannya. Meskipun begitu, penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana jejaring keilmuan Nusantara-Tarim sangat diperlukan untuk mengetahui bagaiama matan ini bisa sampai di Jawa paling lama seabad setelah penulisnya wafat.

Akhirnya, kita bisa menyatakan dengan aman bahwa Islam yang berkembang di Nusantara, lebih khususnya Jawa, bukanlah Islam yang terdistorsi karena jauhnya baik secara geografis maupun budaya dari “sumber ajaran Islam”, karena sejak abad ke-16 sumber-sumber ortodoksi Islam telah dikaji di Jawa, bukan?

Nur Ahmad

Wakil Sekretaris PCINU Belanda

Ijab-kabul dan shigat ta’līq di Jawa era Sultan Agung

Ditulis oleh Nur AhmadManuskrip Islam Nusantara Ditayangkan: 03 Desember 2017 Dilihat: 3457

Pernikahan putri pak presiden Jokowi telah berhasil menarik perhatian warga bangsa Indonesia. Perbincangan politik yang menyumpeki ruang udara kita seakan berhenti sejenak. Seluruh warga masyarakat seakan-akan hadir di dalam satu ruangan bersama pak Jokowi yang menjabat tangan calon menantunya seraya berkata “Saya nikahkan dan saya jodohkan …”. Kita pun nampaknya ikut lega ketika Bobby berhasil menyatakan kalimat kabuldengan sangat lancar dalam beberapa detik saja, “Saya terima nikah dan jodohnya…” Semakin lengkap prosesi ijab-kabul ini dengan shigat ta’liq khas Indonesia sesaat setelah itu.

Iya! Di Indonesia ijab-kabul selalu diikuti pernyataan janji dari suami berkaitan terhadap istrinya yang bila dilanggar maka istri bisa mengajukan ke pengadilan agar jatuh talak satu dari suaminya. Pemerintah mewajibkan seorang calon suami untuk mengucapkan janji ini sesaat setelah ijab-kabul.

Seseorang sah-sah saja menilai tidak etis seorang suami memperbincangkan talak sesaat kebahagiaan ijab-kabul. Juga sah pula jika seorang mempertanyakan dalil praktik shigat ta’liq ini, sebagaimana tren untuk secara lahirian mengikuti “dalil” muncul dalam sebagian masyarakat. Namun itu pertanyaan hari yang lalu, pertanyaannya sekarang adalah kapankah prosesi yang dinilai sebagai hasil pemikiran kreatif ulama nusantara ini muncul?

Kolofon pada folium 5 recto

(gambar 1: Kolofon manuskrip pada folium 5 recto yang menunjukkan tahun penulisan 1545 Saka atau 1623 Masehi)

Jawabnya adalah paling tidak sejak masa Sultan Agung (berkuasa 1613-1645). Buktinya terdapat pada manuskrip Sloane 2645 yang tersimpan di Perpustakaan Britania Raya. Ia berbahan kertas lokal dluwang dan menggunakan akasara pegon. Manuskrip ini berkolofon tahun 1545 Saka atau 1623 Masehi yang menjadikannya manuskrip pegon tertua sejauh ini (lihat gambar 1). Dalam beberapa tulisan yang lalu, saya menuliskan catatan mengenai sisi kodikologisnya dan teks fikih yang dikandungnya. Selain kedua itu, ternyata manuskrip ini juga mengandung teks singkat ijab-kabul- shigat ta’līq ala muslim Jawa abad ke-17.

folium 2

(gambar 2: Folium 2 recto dari manuskrip yang berisi teks ijab-kabul)

Ini adalah folium 2 recto dari manuskrip tersebut yang mengandung teks yang saya maksud (lihat gambar 2).

Berikut ini adalah tranliterasinya dari aksara pegon ke aksara latin:

Bismillāh(ir) roḥmān(ir) roḥīm bismillāh walḥamdulillāhi/

washsholātu ‘alā rosūlillāh muḥammadin shallallāhu ‘alaihi wasallam./

Ūshikum wa nafsī bitaqwallāh sun kawinakan niyanu kalawan/

sira kalawan maskawine sata hil salaka minaka utangira./

Qabūl(un). Manira anarima saking pakanira kawine niyanu kalawan/

maskawin kang kucap wahu punika teteng minaka (u)tang manira./

‘Aqod nikah. ‘Aqod jangji samangsane manira anambanga/

ing rabi manira niyanu satahun tiba thalaq pisan’’/

Ya’ni aniyaya kaya ora aweh pangan lan ora angomahi. lan ora/

anuroni atawa ora kalawan udzur.

Berikut adalah terjemahannya dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia:

Di dalam asma Tuhan Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang di dalam asma Tuhan dan segala pujian bagi-Nya/

dan anugerah keagungan semoga untuk utusan Tuhan yaitu Muhammad semoga Tuhan selalu melimpahinya salam dan keagungan./

Aku berwasiat kepadamu dan diriku sendiri supaya terus takwa kepada Tuhan Aku nikahkan Niyanu dengan/

dirimu dengan mas kawin seratus hil (satuan berat?) perak sebagai hutangmu./

Qabul. Saya terima darimu nikahnya Niyanu dengan/

mas kawin yang telah diucapkan tadi, itu (teteng: tetap atau pasti?) sebagai hutangku./

Akad nikah. Akad perjanjian manakala aku meninggalkan istriku/

Niyanu selama setahun jatuhlah talak satu’’./

Yaitu perbuatan aniaya seperti tidak memberi makan dan tidak memberi tempat tinggal. dan tidak/

tidur bersama dan juga tanpa udzur.

Beberapa catatan dapat kita berikan misalnya pada masa itu susunan kalimat ijab-kabul sama seperti masa sekarang. Secara garis besarnya susunan ijab adalah “saya nikahkan seseorang dengan seseorang dengan maskawin…”. Sedangkan pernyatan kabul susunan umumnya adalah “saya terima nikahnya seseorang dengan maskawin…”. Kedua, suatu praktik masih terus hidup hingga masa sekarang, ternyata pada masa itu sudah ada praktik shigat ta’līq, bahwa seorang suami menjanjikan sesuatu terhadap istrinya yang bila terlanggar akan jatuh talak. Ketiga, sejak dahulu ijab-kabul diucapkan dalam bahasa masyarakatnya, tanpa harus memaksakan diri dengan bahasa Arab. Hal ini penting melihat manuskrip ini adalah catatan santri yang mengandung kajian kitab fikih. Ini juga penting mengingat dalam sebagian masyarakat nampaknya ijab-kabul dengan bahasa daerah dinilai kurang afdhal dari pada dengan bahasa Arab.

Namun ada juga perbedaan antara masa itu dengan sekarang. Di antaranya, pada masa itu masih ada saja seorang suami yang menghutang mahar yang diperuntukkan bagi istrinya. Nampaknya sekarang kita tidak akan menemukan hal semacam ini. Juga bentuk maharnya pada waktu itu adalah dengan perak, sekarang emas menjadi pilihan utama. Perbedaan lainnya adalah pada batasan waktu seorang suami meninggalkan istrinya. Praktik shigat ta’liq masa kini membatasinya dengan dua tahun berturur-turut. Sedangkan di masa itu, separuhnya sudah cukup membuat talak jatuh. Selain itu, pada shigat ta’liq abad ke-17 itu tidak disinggung adanya keharusan istri untuk menggugat ke pengadilan agar talak itu jatuh kepadanya. Dulu seorang suami yang meninggalkan istrinya selama setahun berturut-turut, tidak memberinya nafkah lahir berupa pangan dan papan, serta tidak memberinya nafkah batin yaitu tidur bersama, maka jatuhlah talak suami terhadap istrinya.

Akhir kata, ternyata praktik shigat ta’līq sudah hidup di Nusantara (baca Jawa) paling tidak sejak 4 abad yang lalu. Yaitu ketika Sultan Agung di tengah masa kekuasaannya!

Makna Pegon

Ditulis oleh Nur AhmadManuskrip Islam Nusantara Ditayangkan: 24 November 2017 Dilihat: 6638

Oleh Nur Ahmad

Tahukah Anda hasil peradaban pesantren yang terus hidup subur (a living tradition) selama lima abad terakhir? Bahkan ia insyaallah akan terus hidup hingga akhir masa. Pegon adalah jawabnya! Tradisi menulis dengan aksara Arab yang dimodifikasi (Arabic modified script) ini tumbuh sejak abad ke-16 dan terus berkembang dengan segala kompleksitasnya hingga abad ke-21.

Dari mana kata pegon berasal dan apa maknanya? Sebelumnya, saya perlu mendefinisikan apa pegon itu. Bagi saya definisi pegon di masa sekarang adalah sistem penulisan yang menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Indonesia. Makna ini jauh lebih luas dari makna yang umumnya diberikan pengkaji manuskrip nusantara yang membatasi pegon dalam tiga bahasa daerah, Jawa, Sunda, dan Madura.

Manuskrip Pegon Bali 1 copy

Padahal dalam tradisi Bali juga muncul aksara pegon (lihat gambar 1). Dalam perkembangan sekarang, terutama di masyarakat tradisional berbasis pesantren, pegon juga digunakan untuk menuliskan dalam bahasa Indonesia. Maka sudah selayaknya keduanya dimasukkan dalam cakupan definisi pegon (lihat gambar 2).

Kemudian kembali ke pertanyaan awal. Dari mana kata pegon berasal? Bila kita lihat lahirnya manuskrip pegon yang dimulai paling tidak sejak abad ke-16, maka kata pegon hendaknya dari bahasa Jawa Kawi (bahasa Jawa Kuno). Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli, misalnya Mas Ngabehi Kramaprawira, Kawruh Sastra Pegon sebagaimana dikutip dalam Titik Pudjiastuti (2003) yang mengatakan bahwa pegon berasal dari kata “pego” dalam bahasa Kawi.

Pegon Indonesia

Dalam bahasa Kawi, “pego” memiliki beberapa arti. Dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Zoetmulder (dan Robson 2006) mengatakan bahwa pego adalah kata yang merupakan kata dasar dari apégo yang berarti “juga”. Dia menyebutkan contoh dalam frasa berikut “Pega ning citta lali awetu tangis”.

Definisi lainnya yang diberikan oleh Zoetmulder adalah “(mengucapkan) dengan kesukaran ?”. Seperti terlihat di sini, penulisnya tidak begitu yakin dengan pemaknaan pegon dengan “sulit mengucapkan”. Namun, sayangnya makna ini telah ditetapkan sebagai satu-satunya makna “pego” oleh sebagian pengkaji dan dipercaya tanpa kritik, sehingga dianggap sebagai kebenaran satu-satunya. T.E. Behrend (1996) dalam “Textual Gateways: The Javanese Manuscript Tradition” bahkan menafsirkannya lebih jauh dengan foreign sounding (“asing diucapkan”).

Padahal “pego” juga memiliki arti lain. Dalam kamus kawi yang disusun C.F. Winter (1994) dengan berkonsultasi kepada pujangga santri R.Ng. Ranggawarsita, disebutkan bahwa makna “pego” adalah “kukus, sumpeg, peteng.”. Maksudnya yaitu, sempit, penuh (lawan dari longgar), dan gelap. Bila kita terapkan arti ini pada frasa di atas, maka artinya akan lebih jelas , yaitu “Pikirannya penuh (sangat gelisah, hingga) lalai mengeluarkan air mata.”

Arti kata ini dalam bahasa Kawi Bali berubah dan berbaur dengan makna konotatifnya, yaitu sedih dan risau. Lihat misalnya pada Kamus Kawi Bali (1990), di dalamnya “pego” diartikan sesek (sempit), lek (sedih), engsek (sedih).

Ada satu hipotesis mengapa aksara ini diambil dari kata yang berarti peteng (gelap) dan sumpeg (penuh atau tidak longgar). Yaitu, jika kita melihat sebuah manuskrip pegon, maka akan tampak bahwa aksara ini sering kali memenuhi halaman yang ditulisi, sehingga menjadikannya “gelap”. Dia juga sering kali ditulis dan ditempatkan berdesakan di antara dua baris aksara lainnya di halaman yang sama. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi utama pegon untuk memberikan terjemahan antar baris (interlinear translation) teks-teks berbahasa Arab.

Aksara Pegon

Hal ini berbeda dengan teks beraksara Jawa hanacaraka yang tidak perlu diterjemahkan sehingga dalam manuskrip hanacaraka kertasnya lebih “terang”, tidak penuh, dan aksaranya tidak “berdesakan”. Lihat perbandingan dua manuskrip di bawah ini.

Usia pegon telah mencapai masa lima abad sejauh ini. Pertanyaan yang muncul adalah akankah doa saya di awal tulisan ini akan terkabul? Akankah pegon terus bertahan di masa ketika sebagian pesantren, meskipun kecil, telah “berani” meninggalkannya?

Aksara Hanacaraka versi gunung

Daftar Pustaka

Behrend, T.E. “Textual Gateways: The Javanese Manuscript Tradition.”dalam Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia : Featuring Manuscripts from the National Library of Indonesia. diedit oleh Kumar, Ann. Jakarta: The Lontar Foundation; Weatherhill, 1996.

Pudjiastuti, Titik. “Sekilas tentang aksara Pegon.” dalam Tali Rasa, diedit oleh Parwatri Wahjono dan Dwi Woro Retno Mastuti, 123–33. Jakarta: Jurusan Sastra Daerah Program Studi Jawa-FIBUI, 2003.

Menaka, Made, dan Bali Yayasan Kawi Sastra Mandala (Singaraja Indonesia). 1990. Kamus Kawi-Bali. Singaraja: Yayasan Kawi Sastra Mandala.

Winter, C. F, dan R. Ng Ranggawarsita. 1994. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Zoetmulder, Petrus J., dan Stuart O. Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Keterangan gambar.

1. Manuskrip Pegon Bali, Or. 4716 p. 1-2 dari Perpustakaan Universitas Leiden. Sebuah manuskrip yang langka dalam bahasa Bali yang ditulis dengan aksara Pegon.

2. Manuskrip Pegon Indonesia, tulisan tangan dari KH. Ahmad Mustofa Bisri sebagai wujud dukungan atas penerbitan Kitab Tuntunan Membaca dan Menulis Arab Pegon karya Kiai Ichsan Sardi.

3. Manuskrip Hanacaraka (model Gunung), f.3r dari manuskrip berkode Or. 5610 disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.

4. Manuskrip Pegon: Halaman kedua dari sebuah manuskrip tentang tashrif (morfologi). Dari pondok pesantren Sumber Anyar, Pamekasan, Madura. Sebagaimana terlihat betapa penuhnya halaman naskah ini yang mana menjadi sifat utama naskah pegon ketika ia berfungsi sabagai perantara terjemahan antar baris suatu teks. Saya dapatkan dari dosen UIN Walisongo Semarang, Bapak Zainul Adzfar

Diterbitkan pertama kali di nu.or.id

Artikel Selanjutnya…