Tanya ustadz!

Sampaikan pertanyaanmu

Klik disini!

Ketika Imam al-Ghazali Dirampok Kitab-kitabnya

Waktu baca: 2 menit

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang karya-karyanya dikaji dan menjadi rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia.  Nama ulama berjuluk Hujjatul Islam (sandaran agama) ini harum semerbak laksana minyak kasturi. Ia lahir di kota Thus pada tahun 405 H dan wafat pada tahun 505 H.   Dikisahkan, suatu hari dalam sebuah perjalanan al-Ghazali dihadang segerombolan perampok. Mereka berhasil mengambil seluruh hartanya lalu mencoba meninggalkan al-Ghazali begitu saja. Namun, dengan sekuat tenaga al-Ghazali mengikuti jejak langkah mereka. Tak lama kemudian, seorang pemimpin dari gerombolan perampok itu menghardiknya, “Pergilah, kalau tidak engkau akan binasa!”

“Aku memohon kepadamu, demi Dzat yang kalian mengharapkan keselamatan dari-Nya, tolong kembalikan kepadaku catatan-catatan bukuku. Sungguh catatan-catatan milikku tak akan bermanfaat untuk kalian,” pinta al-Ghazali dengan penuh harap.  

“Apa yang kau maksud dengan catatan milikmu?” hardik sang pemimpin perampok. “Lihatlah kitab-kitab dalam keranjang itu. Sungguh aku telah berjuang untuk mengumpulkan catatan-catatan itu dari hasil aku mendengar uraian guru-guruku. Aku habiskan banyak waktuku untuk menulisnya serta mempelajari maksudnya” jawab al-Ghazali dengan yakin.

Sang pemimpin perampok itu hanya menjawab harapan al-Ghazali dengan tertawa terbahak-bahak. “Oh sungguh malang sekali, bagaimana mungkin engkau mengaku mengetahui ilmu yang telah engkau pelajari? Sedangkan kini kami telah mengambil seluruh catatan ilmumu. Tanpa tumpukan catatan-catatan itu, engkau kini tak memiliki ilmu sedikit pun,” seru sang pemimpin perampok yang bengis. Akhirnya, sang pemimpin perampok itu menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan keranjang yang penuh dengan catatan-catatan tersebut. Imam al-Ghazali pun sangat senang dengan hal itu. Hingga ia bergumam dalam hati, “Inilah teguran dan peringatan dari Allah kepadaku.”

Sesampainya di kota Thus, al-Ghazali pun menghabiskan waktu tiga tahun untuk menghafalkan seluruh catatan yang telah ia kumpulkan sehingga jika saatnya nanti ia dirampok di tengah jalan seperti yang pernah ia alami, niscaya ilmunya akan tetap terpelihara.  

Cerita ini terekam dengan baik antara lain di kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2007, III: 103). Ada pesan penting bagi kita bahwa dalam setiap musibah selalu terdapat  hikmah. Setiap kejadian baik ataupun buruk yang menyapa kehidupan kita adalah sebuah pelajaran.  

Terkadang kita terlalu larut dalam musibah hingga kita lupa bahwa Allah mengirimkan musibah dengan banyak pelajaran yang bisa kita ambil darinya sebagai bekal menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Ada kalanya sebuah kegagalan adalah sebuah pelajaran agar kita tetap menjadi hamba yang rendah hati; bahwa setiap usaha yang kita kerjakan tetaplah harus dilandasi dengan keikhlasan dan berpasrah diri kepada Allah. Ada kalanya kebahagiaan yang datang setelah kesedihan adalah sebuah anugerah yang harus kita syukuri dengan cara membagikan kebahagiaan kepada orang-orang di sekitar kita.

Selanjutnya, hikmah lain yang bisa diambil dalam kisah ini adalah agar kita selalu melatih otak kita untuk menghafalkan dan memahami pelajaran agama dengan sungguh-sungguh. Di zaman serba-praktis seperti sekarang, kita sering terlalu bergantung dengan catatan atau referensi dari gawai kita. Sehingga, tatkala perangkat itu rusak atau tak ada dalam genggaman, kesulitan pun muncul di depan mata. Karena pada dasarnya ilmu yang baik adalah ilmu yang menancap di dalam hati sebagaimana petuah para ulama:   العلم في الصدور لا في السطور   “Ilmu sesungguhnya terekam jelas di dalam hati, bukan sekadar tulisan yang melekat di dalam halaman-halaman buku.”  

Pewarta: Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo