Beranda Keislaman Gagasan ‘Hantu’ Politik Menjelang Pesta Demokrasi di Belanda dan Indonesia

‘Hantu’ Politik Menjelang Pesta Demokrasi di Belanda dan Indonesia

948
0

Dalam sebuah percakapan ringan bersama kolega di Belanda, saya pernah mengajukan rasa penasaran saya bagaimana manusia memiliki perbedaan pandangan tentang bentuk hantu yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan letak geografis. Orang Indonesia, misalnya, mengenal hantu berupa pocong, kuntilanak, dan nama-nama lain. Orang Belanda tidak mengenal nama-nama hantu yang ada di Indonesia. Jika mereka punya konsep tentang hantu, kemungkinan besar, persepsi bentuk dan namanya berbeda dari orang Indonesia. Jika di film-film dari negara Eropa kita mengenal hantu seperti Drakula. Ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang hantu beragam.

Akan tetapi, di tulisan ini saya tidak akan mendiskusikan tentang hantu dalam makna sebenarnya seperti uraian di atas, melainkan ‘hantu’ dalam arti ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran yang diciptakan oleh manusia sendiri menjelang pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden, pemilihan perdana menteri, atau pemilihan kepala daerah, dengan perbandingan di Belanda dan Indonesia. Hantu-hantu ini biasanya sesuatu yang tidak ada tapi dianggap ada (dengan mengada-ada), atau sesuatu yang mengalihkan pemilih untuk menilai kebijakan-kebijakan nyata yang diusung para pasangan calon. Hantu-hantu ini kemudian dipolitisasi untuk mendorong atau menurunkan tingkat elektabilitas partai atau pasangan calon tertentu dalam perayaan pesta demokrasi.

Dari uraian di awal tentang hantu, kita akan melihat bagaimana hantu menjelang pesta demokrasi di Belanda dan Indonesia itu berbeda, bahkan bisa kontradiktif.

Hantu politik di Belanda

Ketika dalam perjalanan menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag musim dingin 2017 lalu, seperti biasa saya mengambil bus transportasi umum dari stasiun Den Haag meski bisa juga naik trem tapi saya harus jalan dari halte trem lebih jauh daripada dari halte bus. Bus nomor 24 jurusan Kijkduin itu penuh sesak sehingga banyak yang berdiri. Ini situasi biasa setiap hari pada jam berangkat dan pulang kerja di Belanda. Saya sedang mencari celah agar bisa berdiri di tengah-tengah kerumunan ketika saya melihat ada satu bangku kosong di sebelah perempuan berjilbab. Saya langsung menyapanya untuk meminta izin duduk di sebelahnya. Dia mempersilahkan dengan ramah. Setelah duduk saya bertanya-tanya mengapa orang-orang memilih berdiri berdesakan daripada duduk di sebelah perempuan berjilbab ini. Saya mulai menerka-nerka apakah karena dia berjilbab sehingga mereka enggan/tidak suka. Mengapa tidak ada satu pun dari orang-orang di bus yang berdiri mau duduk di sebelahnya dan memilih untuk berdiri bahkan di dekat kursi kosong itu.

Musim dingin waktu itu memang berdekatan dengan pemilu di Belanda yang dilaksanakan pada 15 Maret 2017. Sentimen anti-Islam di Belanda sering muncul di media massa atau melalui aksi-aksi demonstrasi oleh anggota dan pendukung Pegida, gerakan politik anti-Islamisasi di Barat, dan gerakan anti-Islam di beberapa kota di Belanda. Selain itu, ada partai anti-Islam yang terus mengampanyekan agar Islam harus hengkang di Belanda. Maraknya sentimen anti-Islam ini yang membuat saya menerka demikian. Hal ini yang mendorong saya untuk memulai percakapan dengan perempuan berjilbab di sebelah saya. Saya ingin tahu pendapatnya tentang hidup sebagai seorang Muslimah di Belanda.

Saya memulai percakapan dengan kekaguman saya terhadap pemerintah Belanda yang memberi izin warga Muslim mendirikan masjid di kota-kota di Belanda dan memberikan kebebasan kepada Muslim untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya seperti sholat dan menikah sesuai dengan syariat Islam. Dia membenarkan pernyataan saya tapi dia khawatir bahwa hal itu tidak akan terjadi setelah pemilu pada 17 Maret 2017 lalu. Dia mengatakan sentimen anti-Islam terus meningkat di Belanda dan Eropa yang membuat kebebasan Muslim di Belanda terancam. Dia memberikan contoh beberapa sekolah Islam yang ditutup oleh pemerintah Belanda. Belum lagi aksi vandalisasi mesjid-mesjid dan sekolah-sekolah Islam. Saya terkejut ketika dia mengaku bahwa kakeknya adalah orang Maluku karena wajahnya sangat mirip dengan warga Eropa pada umumnya. Dia mengatakan bahwa ketika dia ingin memeluk Islam, kakeknya terus meyakinkannya bahwa Islam akan membuat hidupnya terkekang dan dikucilkan dari pergaulan. Dia sendiri tertarik mengenal Islam karena sering melihat propaganda anti-Islam sehingga dia ingin lebih tahu tentang Islam. Hal ini kemudian membuatnya memutuskan untuk masuk Islam setelah mempelajarinya. Dia sekarang sudah menikah dengan orang Belanda Muslim dan mempunyai dua anak.

Ketakutan dia akan kemenangan partai anti-Islam di Belanda tidak terjadi, meski jumlah pemilihnya meningkat. Islam sudah lama dijadikan hantu di Belanda dan Eropa. Islam dianggap biang terorisme, membatasi kebebasan perempuan, dan tuduhan lainnya. Bahkan di pemilu dewan kota Belanda terbaru tanggal 21 Maret 2018 lalu, Islam masih dijadikan hantu untuk menakut-nakuti pemilih agar memilih parta anti-Islam. Partai ini sekarang sudah memiliki wakil di parlemen Belanda dan dewan di 30 kota di Belanda. Pemimpinnya melakukan propaganda dengan memilih penafsiran-penafsiran tertentu yang menguntungkan agendanya dan pada saat yang sama menegasikan keragaman penafsiran terhadap sumber-sumber Islam.

Hantu yang kedua yang dikampanyekan di Belanda adalah imigrasi. Gelombang pengungsi dan pencari suaka dari Asia, Afrika, dan Timur Tengah karena konflik menjadi momok dalam pesta demokrasi di Belanda. Partai-partai anti-imigran mengampanyekan beban yang harus ditanggung warga Belanda terkait kebijakan Belanda menerima para imigran ini. Perlu diketahui bahwa warga Belanda membayar pajak dari penghasilannya cukup besar sekitaran 40 hingga 52 persen, tergantung besar penghasilannya. Pajak ini kemudian digunakan oleh pemerintah Belanda untuk tunjangan sosial, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan-pelayanan lainnya. Tunjangan ini termasuk bagi warga berpenghasilan di bawah rata-rata. Partai-partai anti-imigran ini mempropagandakan bahwa para imigran lebih banyak menikmati tunjangan-tunjangan sosial ini daripada warga Belanda sendiri.

Padahal pada kenyataannya Belanda bukan satu-satunya negara yang menerima para imigran ini. Uni Eropa membagi penampungan dan penyelasaian masalah pengungsi kepada negara-negara anggota. Selain Uni Eropa, para pengungsi juga ditanggung oleh negara-negara seperti Turki, Lebanon, Arab Saudi dan lainnya. Propaganda anti-imigran di Belanda dipandang berlebih-lebihan oleh kebanyakan warga Belanda yang memilih mengangkat isu seperti perumahan, asuransi kesehatan, dan isu-isu di daerahnya masing-masing. Kampanye anti-imigran ini pun tidak berhasil memenangkan partai-partai penyokongnya.

Islam dan imigrasi adalah dua contoh isu yang dijadikan hantu menjelang pesta demokrasi di Belanda, setidaknya dalam satu dekade ini. Menarik untuk dikaji secara mendalam apa penyebab kegagalan partai-partai anti-Islam dan anti-imigrasi untuk memenangkan pemilu di Belanda. Tingkat pendidikan warga Belanda mungkin menjadi faktor utamanya. Kalau menurut seorang kolega Belanda, partai-partai anti-Islam dan anti-imigran ini mendapat dukungan warga pedesaan dimana warganya tidak pernah berinteraksi dengan Muslim dan pendatang secara langsung. Kalau warga kota cenderung menerima Islam dan pendatang karena sering berinteraksi dengan Muslim dan pendatang dari negara lain.

Hantu politik di Indonesia

Jika menjelang pesta demokrasi di Belanda ada anti-Islam, di Indonesia ada anti-non Islam/kafir yang dijadikan hantu untuk menakut-nakuti pemilih. Misalnya pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu, warga Indonesia yang mayoritas Muslim sibuk mempertanyakan apakah calon presiden mereka itu Muslim atau tidak. Jika pun Muslim, seberapa soleh dia: bagaimana sholatnya, silsilahnya, kesehariannya dan lainnya. Ini tidak hanya dilakukan oleh pendukung Prabowo tapi juga Jokowi. Identitas dan simbol-simbol keagamaan menjadi lebih penting daripada program-program kerja yang mereka usung. Perdebatan mengenai kesalehan calon presiden ini berlangsung bukan hanya di ruang publik seperti di media sosial dan warung-warung kopi tapi juga dibawa ke ranah keluarga. Tidak sedikit pembelaan terhadap satu calon presiden membuat seseorang dikucilkan dan dimusuhi di keluarganya.

Hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika rakyat menyadari bahwa pembangunan dan kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh identitas dan simbol-simbol tadi. Boleh saja pemilih menjadikan identitas dan simbol agama sebagai bahan pertimbangan pribadi, tapi bukan yang utama dan tak perlu menjadi wacana utama di ruang publik. Justru yang harus menjadi fokus adalah sejauh mana program yang diusung oleh calon presiden bisa mewujudkan cita-cita bangsa yakni menjamin kebebasan beragama, menegakkan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945.

Contoh hantu yang kedua adalah anti-Cina di Indonesia. Istilah anti-Cina sendiri sebenarnya mengundang pertanyaan-pertanyaan seperti apakah yang dimaksud adalah warga negara Cina yang datang ke Indonesia? Atau warga Indonesia keturuan Cina/Tionghoa? Pada prakteknya anti-Cina ini ditujukan kepada dua arti tadi. Propaganda yang beredar menyebutkan bahwa salah satu calon presiden pada pilpres 2014 lalu punya silsilah keturunan Cina. Jika diteliti dengan seksama, tidak ada masalah dengan calon presiden keturuan Cina selama dia berkewarganegaraan Indonesia. Ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, sentimen anti-Cina ini didorong untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan. Beberapa pengamat memandang sentimen anti-Cina di Indonesia merupakan ekspresi kegagalan persaingan ekonomi. Warga Indonesia keturunan Cina menjadi bagian dari pemilik modal utama ekonomi di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecemburuan sebagian warga Indonesia.

Berbicara tentang keturunan bagi warga Indonesia, Cina bukan satu-satunya negara yang memberikan pengaruh pada identitas warga Indonesia. Banyak warga Indonesia yang keturunan negara-negara lain seperti India dan Arab. Dengan demikian, tidak seharusnya isu anti-Cina atau pribumi-non pribumi menjadi hal penting dalam pemilihan umum. Tantangan yang nyata menjelang pesta demokrasi adalah memilih pemimpin atau wakil rakyat yang benar-benar peduli dan bekerja untuk rakyat: memberantas korupsi, menyediakan lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, membawa negara bersaing di kancah global, dan hal-hal lain untuk kemandirian dan kemajuan bangsa dan negara.

Perbandingan hantu di Belanda dan Indonesia

Dari perbandingan hantu politik di Belanda dan Indonesia, kita menemukan hal menarik yang kontradiktif bahwa keber-Islam-an yang dianggap penting di Indonesia justru jadi hantu politik yang dipropagandakan di Belanda. Pimpinan-pimpinan partai yang berseberangan dengan pimpinan partai anti-Islam sering mengutip Islam di Indonesia sebagai contoh ideal bagaimana Islam bisa sejalan dengan kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia untuk menyanggah propaganda gerakan dan partai anti-Islam. Berkaca dari hasil pemilu tanggal 15 Maret 2017 di Belanda dan hasil pemilu 2014 di Indonesia, hantu-hantu politik di Belanda tidak berhasil mendulang suara signifikan, sedangkan di Indonesia nyaris berhasil mendulang kemenangan. Mungkin karena mayoritas warga Belanda tidak percaya keberadaan hantu-hantu politik tadi sebagaimana kebanyakan warganya yang tidak percaya hantu dalam arti sebenarnya itu ada. Sedangkan di Indonesia, mereka meyakini hantu-hantu politik itu penting dalam menentukan pilihan politik mereka.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.