Tanya ustadz!

Sampaikan pertanyaanmu

Klik disini!
Ilustrasi aktivitas pertanian di pedesaan (kredit foto: Fahrizal Yusuf Affandi)

NU Belanda: Gerakan Wakaf Uang Sebaiknya tidak Melupakan Sektor Pertanian dan Pedesaan

Waktu baca: 2 menit

Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) pada Senin, 25 Januari 2021. Acara peluncuran tersebut berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dan diikuti sejumlah hadirin secara virtual.

Sebagaimana dilansir dari situs resmi kepresidenan RI (presidenri.go.id), Presiden yang juga bertindak selaku Ketua Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menjelaskan bahwa pemerintah terus berupaya mencari jalan untuk mengurangi ketimpangan sosial dan mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh pelosok Tanah Air. Salah satu langkah tersebut ialah melalui pengembangan dan pengelolaan lembaga keuangan syariah.

Sebagai negara Muslim terbesar, memang Indonesia ketinggalan jauh sekali dalam hal “wakaf uang” ini. Bahkan dibanding negara seperti Singapura sekalipun. Di benak sebagian masyarakat, kalau kita tanya mengenai “wakaf uang”, maka yang terbayang kebanyakan adalah berderma uang untuk digunakan membeli tanah wakaf, untuk mendirikan masjid dan mushola. Padahal, praktik semacam ini bukanlah “wakaf uang”, melainkan wakaf melalui uang untuk menyediakan harta benda wakaf berupa tanah, bangunan, dan sarana prasarana ibadah. Sedangkan yang sebenarnya dimaksud dengan “wakaf uang” adalah harta benda wakafnya berbentuk uang itu sendiri.

Uang sebagai harta benda wakaf ini tidak boleh dihabiskan, tetapi harus terus dipertahankan keberadaannya (sesuai pengertian wakaf yang wujudnya harus berjangka waktu panjang atau bahkan “abadi”). Hasil keuntungan yang diperoleh dari mengusahakan uang wakaf itulah yang boleh digunakan untuk membayai tujuan-tujuan peruntukan wakaf yang ditetapkan oleh wakif (pelaku wakaf).

Penggunaan “wakaf uang” untuk tujuan pembangunan kepentingan umum seperti dipromosikan Presiden Jokowi bukanlah praktik yang baru sama sekali dalam sejarah peradaban Islam. Sebagai misal, selama masa Dinasti Utsmaniyyah, sebagian besar sarana dan prasana publik juga dibiayai dengan wakaf uang (tepatnya dinar dan dirham). Dengan demikian, program yang diluncurkan Pak Jokowi ini memang memiliki preseden historis yang kuat. Melalui wakaf uang, masyarakat bisa terlibat dalam pembiayaan pembangunan sarana publik, bahkan bisa memperoleh kembali uangnya jika ikrar wakaf uang itu dia tetapkan berjangka waktu tertentu (misalnya dalam tempo 5 tahun atau 10 tahun).

Meski demikian, di tengah semakin terbatasnya investasi publik di bidang pertanian yang dilakukan oleh pemerintah akibat kebijakan liberasi di pelbagai bidang yang berakibat pengurangan subsidi, liberalisasi perdagangan, serta keran impor produk pertanian yang semakin lama semakin mudah, sektor pertanian seyogyanya tidak dilupakan dalam perbincangan seputar wakaf uang ini. Saat ini kita sadari ada kebutuhan besar untuk melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan, maka alangkah baiknya jika kita mendorong wakaf uang ini diarahkan untuk menggenjot sektor ekonomi dan pertanian di desa ini. Apa yang didorong Pak Jokowi untuk memanfaatkan wakaf uang untuk menggenjot kegiatan perekonomian memang tidak ada salahnya, tetapi jika ini yang lebih dominan maka justru akan semakin melahirkan ketimpangan dalam investasi pembanguan antara sektor perkotaan/industri/jasa dengan sektor pedesaan/pertanian.

Dalam rangka mengarahkan wakaf uang untuk menggenjot pembangunan pertanian dan ekonomi pedesaan ini, diperlukan inovasi kelembagaan maupun program dari warga desa bekerja sama dengan banyak pihak (lembaga keagamaan, kampus, dan NGO). Mereka bisa membentuk lembaga lokal yang kemudian berfungsi sebagai nazhir (pengelola harta wakaf), lantas meng-create program-program pengembangan ekonomi dan pertanian yang inovatif. Sebagian (besar) pembiayaan program-program inilah yang kemudian secara kreatif (misalnya melalui teknologi IT) digalang melalui filantropi sosial dan keagamaan (crowd funding), termasuk pewakafan uang maupun harta benda wakaf lainnya.

Sejalan dengan tulisan di atas, visi semacam inilah yang perlu lebih didorong untuk dijalankan oleh ormas Islam maupun pengurus masjid di daerahnya masing-masing.

*) Muhammad Shohibudin adalah  Mustasyar PCINU Belanda 2019-2021, dosen di IPB dan Kandidat doktor Antropologi di Universitas Amsterdam, Belanda.