Tanya ustadz!

Sampaikan pertanyaanmu

Klik disini!
Nasaruddin Umar

Menag Nasaruddin Umar: Indonesia Sudah Saatnya Menjadi Kiblat Dunia Islam

Waktu baca: 2 menit

Groningen, Belanda – Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda kembali menggelar konferensi internasional bertajuk “Harmony in Turbulence: The Intersection of Faith, Climate Justice, and Global Peace”. Acara ini berlangsung di tiga kota besar di Belanda, yaitu Groningen, Amsterdam, dan Den Haag, pada 1–5 Oktober 2025. Konferensi ini merupakan agenda rutin dua tahunan PCINU dan telah memasuki edisi keempat.

Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Nasaruddin Umar, MA, turut hadir secara daring dalam pembukaan konferensi yang berlangsung di Universitas Groningen, Selasa, 1 Oktober 2025. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi atas kontribusi PCINU Belanda yang dinilai mampu memberikan sumbangsih pemikiran segar bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan Kementerian Agama.

“Kami akan sangat bangga jika kegiatan PCINU di Belanda dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada bangsa, khususnya kepada NU dan Kementerian Agama. Kami sangat memerlukan pemikiran segar dari teman-teman semua. Saya pasti akan mengapresiasi jika ada masukan dari kawan-kawan di Belanda,” ujarnya.

Prof. Nasaruddin, yang juga menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, memaparkan visinya untuk menjadikan Masjid Istiqlal sebagai pusat koordinasi nasional seluruh masjid di Indonesia. Menurutnya, masjid dapat menjadi basis penguatan ekonomi umat.

“Kami tengah mengagas sistem ekonomi berbasis masjid. Di Indonesia saat ini ada dua fenomena: supermarket mulai tergeser oleh minimarket. Supermarket menghasilkan Rp4 triliun per tahun, sedangkan minimarket Rp40 triliun. Bayangkan jika sebagian besar masjid dan musala dijadikan pusat ekonomi umat, potensi penguatan ekonomi berbasis masjid sangat besar,” jelasnya.

Lebih jauh, ia juga memaparkan konsep baru yang kini sedang dikembangkan Kementerian Agama, yakni ekoteologi. Konsep ini bertujuan mengubah wajah teologi yang selama ini cenderung maskulin menjadi lebih inklusif dan berimbang.

“Selama ini teologi kita terlalu maskulin. Padahal, Tuhan kita sesungguhnya sangat feminim. Lihatlah Asmaul Husna, dari 99 nama Allah, 80 persennya bernuansa feminim. Ini sering disebut dalam Al-Qur’an,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa dalam teologi Islam, Tuhan lebih mencerminkan sosok Mother of God dibanding Father of God. Bahkan, karakter kenabian dalam Islam pun memiliki sisi feminim, tetapi umatnya justru tampil sangat maskulin.

“Ini aneh. Semua maunya membakar, menggusur. Islam seharusnya tampil sebagai rahmat bagi semesta alam,” tegasnya.

Dalam konteks diplomasi keagamaan, Prof. Nasaruddin menekankan pentingnya pendekatan spiritual dan batiniah sebagai jalan menyelesaikan berbagai persoalan regional dan global.

“Diplomasi agama harus menggunakan bahasa batin, bahasa spiritual. Dengan itu, kita bisa menjangkau lintas agama, etnik, bahkan lintas negara,” ujarnya.

Tak hanya itu, Kementerian Agama juga tengah menyusun Kurikulum Cinta dalam pendidikan agama. Langkah ini merupakan respons terhadap fenomena maraknya ajaran kebencian yang disampaikan secara tidak sadar oleh sebagian guru agama di Indonesia.

“Banyak guru agama yang tanpa sadar justru mengajarkan kebencian terhadap agama lain. Ini keliru. Semua agama sejatinya mengajarkan cinta. Jika yang diajarkan adalah kebencian, maka itu adalah kebalikan dari cinta itu sendiri,” jelas Prof. Nasaruddin.

Menutup sambutannya, ia mengajak para peserta konferensi untuk terus berkontribusi dalam menyumbangkan pemikiran dan gagasan strategis demi kebangkitan bangsa serta kemajuan peradaban Islam. Ia juga menyampaikan optimismenya bahwa Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi pusat peradaban Islam dunia.

“Indonesia sudah saatnya menjadi kiblat peradaban dunia Islam. Kita jauh dari konflik seperti di Israel, situasi ekonomi kita jauh lebih baik dibandingkan negara-negara Muslim pada umumnya. Stabilitas politik kita juga sangat mendukung,” ungkapnya.

Sebagai penutup, Prof. Nasaruddin mengundang para peserta untuk berkunjung ke Jakarta jika ada kesempatan.

“Kalau Ananda ke Jakarta, mohon mampir ke Istiqlal atau Kementerian Agama. Kalian adalah anak-anak kami,” pungkasnya.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *